Kamis, 19 Juni 2025. Saya melakukan perjalanan menuju Balikpapan. Bukan dalam kapasitas sebagai manajemen Media Kaltim, bukan pula untuk kepentingan jurnalistik. Kali ini murni urusan hukum pribadi, dalam kapasitas saya sebagai pengelola Satu Nusantara Law Firm.
Saya dijadwalkan menghadiri sidang ketiga perkara perdata di Pengadilan Negeri Balikpapan. Perkara ini saya tangani bersama rekan senior saya, H. Arief Widagdo Soetarno, SH., M.Si., yang juga berkantor di firma kami di Jalan Gunung Kawi BSD, Bontang.
Urusan hukum itu akan saya bahas pada waktunya. Belum hari ini. Karena pagi itu, perhatian saya sepenuhnya tertuju pada satu hal yang lebih mendesak: Kota Balikpapan yang kembali digenangi.
Kami berangkat sejak pagi dari Samarinda. Hujan masih ringan saat memasuki tol. Namun begitu melewati wilayah Samboja, intensitasnya meningkat tajam. Ketika keluar dari Tol Manggar, genangan air mulai tampak di beberapa titik. Jalur menuju pusat kota masih bisa dilalui, meski melambat akibat genangan yang meninggi.
Sejak hujan deras mengguyur saat perjalanan, saya sudah menduga: Balikpapan akan kembali banjir. Yang saya khawatirkan, apakah jalan menuju pengadilan masih bisa dilintasi.
Jadwal sidang pukul 10.00 Wita, tapi waktu sudah menunjukkan pukul 10.30 saat saya tiba di pintu tol keluar.
Sepanjang rute, saya melewati tiga titik genangan. Air cukup tinggi, tapi mobil masih bisa melaju perlahan. Sementara di jalur arah ke Manggar, kemacetan mulai mengular karena satu kendaraan terjebak di tengah genangan.
Tak lama, laporan dari tim redaksi Media Kaltim berdatangan lewat grup WhatsApp. Air setinggi lutut di MT Haryono. Di Gang Mufakat, bahkan mencapai dada orang dewasa. Rumah-rumah yang selama ini aman, kali ini ikut terendam. Salah satu karyawan kami mengaku, ini kali pertama rumahnya kebanjiran sejak tinggal di sana.
Ini bukan kejutan. Ini pola yang terus berulang. Dan setiap tahun, pemerintah kota tampaknya tetap tidak belajar.
BMKG sebenarnya sudah mengeluarkan peringatan sejak pagi. Hujan dikategorikan sedang, tapi berdurasi panjang. Tapi cukup untuk menunjukkan satu hal yang belum berubah: drainase kota macet, tak berfungsi sebagaimana mestinya.
Jalanan lumpuh. Warga kesulitan beraktivitas. Kendaraan mogok. Dan air, seperti biasa, mengalir ke tempat yang paling mudah: rumah-rumah penduduk.
Yang patut diapresiasi adalah mereka yang bergerak tanpa sorotan kamera. Tim Satbrimob Polda Kaltim, dipimpin langsung Kombes Andy Rifai, turun ke lokasi banjir.
Mereka membawa perahu karet, mengevakuasi warga—terutama lansia, ibu hamil, dan anak-anak. Ini bentuk nyata dari tanggung jawab. Sunyi dari pemberitaan, tapi berarti di lapangan.
Wali kota memang sedang menjalankan agenda resmi, mendampingi kunjungan kerja anggota DPR RI. Itu tugas penting, kita paham. Tapi saat warga berjibaku menyelamatkan kasur dari rendaman air, harapan tetap ada: semoga, meski tak tampak di lapangan, Wali Kota Balikpapan tetap memantau situasi dan mendengar langsung suara warganya. Karena kepemimpinan bukan soal hadir secara fisik semata, tapi soal tanggap dan tahu kapan rakyatnya butuh dipegang.
Tapi, kita juga harus akui, Pemkot Balikpapan sebenarnya telah menjalankan sejumlah program untuk mengatasi banjir.
Mulai dari normalisasi drainase di MT Haryono dengan box culvert berukuran besar, pembangunan bendali Ampal Hulu, hingga moratorium izin pembukaan lahan baru sejak 19 Juni 2025.
Ada juga optimalisasi bendali di belakang Pasar Segar dan dorongan penyerahan prasarana dari pengembang ke pemerintah. Strategi pengendalian banjir jangka menengah dan proyek SPAM pun sedang disiapkan.
Tapi kita tahu: program bagus tanpa kecepatan eksekusi dan konsistensi hanya akan menjadi daftar niat baik. Dan niat baik saja tidak cukup ketika air sudah masuk ruang tamu warga.
Mari bicara apa adanya. Ini bukan bencana alam. Ini bencana pengabaian. Drainase yang tak pernah dibenahi. Izin pembangunan yang terus diterbitkan. Kawasan resapan air yang terus dikorbankan atas nama investasi. Lalu, tiap musim hujan, semua tampak terkejut—padahal warga sudah pasrah.
Balikpapan bukan kota kecil. Tapi cara kita menanggapi banjir selalu kecil. Jika penanganan hanya muncul setelah viral, maka yang diperbaiki hanyalah kulitnya. Kalau semua keputusan hanya demi menjaga citra, maka yang akan terus tenggelam adalah kepercayaan publik.
Sudah waktunya bicara tegas: Hentikan pembiaran. Perbaiki tata ruang. Benahi drainase.Dan berhentilah menyalahkan langit.
Karena air tidak salah. Yang salah adalah kita yang tak pernah belajar.
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.