Jumat, Juli 11, 2025
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
Beranda blog Halaman 12

Komisi II: Putusan MK Momentum Desain Ulang Pemilu dan Pilkada

0

JAKARTA – Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal jeda penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah, menjadi momen yang tepat untuk mendesain ulang model pemilu dan pilkada sesuai struktur pemerintahan berdasarkan UUD 1945.

“Putusan MK ini secara substansi menegaskan struktur politik kita terdiri atas dua entitas, yaitu politik nasional dan politik daerah yang pengelolaannya perlu penyesuaian,” kata Zulfikar dalam keterangannya, Jumat (27/6/2025).

Ia juga mengatakan pihaknya menghormati keputusan MK dan akan menyusun kebijakan selaras dengan keputusan tersebut.

“Kami menghormati putusan MK tersebut. MK adalah lembaga yang memiliki kewenangan untuk menafsirkan apakah sebuah undang-undang bertentangan dengan konstitusi atau tidak. Karena putusan MK bersifat final dan mengikat, sebagai pembentuk UU, kami siap menyelaraskan dengan putusan MK tersebut,” ujarnya.

Zulfikar menyebut putusan MK ini menegaskan posisi pilkada sebagai bagian dari rezim pemilu, dan terbuka lebar peluang untuk memasukkan aturan pilkada terkodifikasi ke dalam UU Pemilu sesuai kebijakan dalam RPJPN 2025-2045.

Dia juga mengatakan putusan MK ini secara teknis akan memudahkan pemilih dalam menggunakan hak pilihnya dan mengefektifkan penyelenggara pemilu dalam melaksanakan setiap tahapan.

Hadirnya putusan MK ini, kata Zulfikar, mengokohkan kedudukan penyelenggara pemilu sebagai institusi yang tetap, sehingga menepis pikiran menjadikan penyelenggara pemilu lembaga ad hoc

“Terakhir, putusan MK ini memperkuat prinsip bahwa kita merupakan negara kesatuan yang didesentralisasikan. Harapannya, bisa memunculkan budaya politik baru yang memperkuat dan meningkatkan efektivitas pemerintahan daerah,” ujar legislator dari Daerah Pemilihan Jawa Timur III itu.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.

Pemilu nasional antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.

“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).

Dalam hal ini, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Ketua Pengurus Yayasan Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Pengurus Yayasan Perludem Irmalidarti.

Secara lebih perinci, MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai menjadi:

“Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional.”. (ANT/KN)

RI–Malaysia Sepakat Perkuat Daya Saing Domestik dan ASEAN Hadapi Tarif Resiprokal AS

0

JAKARTA – Perdana Menteri (PM) Malaysia Anwar Ibrahim dan Presiden RI Prabowo Subianto menyatakan sepakat untuk memaksimalkan kekuatan domestik hingga peran kedua negara di ASEAN dalam menghadapi isu tarif, termasuk tarif resiprokal yang diberlakukan Amerika Serikat.

PM Anwar mendukung komitmen Presiden Prabowo untuk meningkatkan investasi masing-masing negara sebagai langkah bersama menghadapi tantangan global.

“Dalam menghadapi isu-isu tarif dan isu-isu ketegangan hubungan antarbangsa, kekuatan kita adalah kekuatan domestik, kekuatan bilateral, dan kekuatan ASEAN. Dan ini kita harus bina dengan semangat yang ada di kalangan pimpinan,” kata PM Anwar saat menyampaikan pernyataan bersama dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (27/6/2025).

PM Anwar mengatakan bahwa pihaknya senantiasa selalu berkomunikasi dengan Presiden Prabowo guna menyamakan pandangan dalam menghadapi berbagai isu internasional.

Kedua negara juga terus menjalin hubungan di tengah upaya negosiasi tarif resiprokal kepada Pemerintah AS.

“Seperti mana juga perundingan tarif, walaupun ada kepentingan bilateral, tapi kita senantiasa ada hubungan supaya kita dapat mencapai maksimal yang mungkin dalam menghadapi isu-isu ini,” kata PM Anwar.

Adapun kunjungan PM Anwar ke Istana Merdeka, pada Jumat (27/6/2025), meskipun bukan merupakan kunjungan resmi, namun termasuk sebagai kunjungan balasan setelah Presiden Prabowo berkunjung ke Malaysia pada akhir Januari 2025, kemudian menghadiri KTT ASEAN ke-46, KTT ASEAN-GCC (Dewan Kerja Sama Teluk) ke-2, dan KTT ASEAN-GCC-China di Kuala Lumpur.

Indonesia merupakan mitra dagang terbesar ke-6 Malaysia di tingkat global dan ke-2 di peringkat Asia Tenggara pada 2024.
Sementara itu, nilai perdagangan bilateral kedua negara bertetangga ini pada 2024 mencapai 25,5 miliar dolar AS, meningkat 4,5 persen dari 2023 sebesar 24,39 miliar dolar AS. (ANT/KN)

KPU RI Hormati Putusan MK soal Jeda Pemilu Nasional dan Daerah

0

JAKARTA – Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Mochammad Afifuddin mengatakan pihaknya akan menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun dan 6 bulan.

“Kami menghormati putusan MK dan akan pelajari secara detail putusan MK tersebut,” kata Afifuddin saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat (27/6/2025).

Afifuddin menilai putusan MK tersebut akan meringankan tugas KPU sebagai penyelenggara pemilu.

“Memang tahapan yang beririsan bahkan bersamaan secara teknis lumayan membuat KPU harus bekerja ekstra,” ujarnya.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun dan 6 bulan.

Pemilu nasional antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.

“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).

Dalam hal ini, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Ketua Pengurus Yayasan Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Pengurus Yayasan Perludem Irmalidarti.

Secara lebih perinci, MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai menjadi:

“Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional.”

Pada diktum lainnya, MK menyatakan Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai menjadi:

“Pemungutan suara diselenggarakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden diselenggarakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota.”

Kemudian, MK juga menyatakan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai menjadi:

“Pemilihan dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota yang dilaksanakan dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden.”

Dengan amar putusan tersebut, MK memerintahkan bahwa pemilu daerah diselenggarakan setelah pemilu nasional. (ANT/KN)

DPRD Kukar dan PPU Sepakat Perjuangkan Kompensasi Penyerahan Aset ke IKN

PENAJAM PASER UTARA – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) berharap penyerahan aset di sebagian wilayah kedua kabupaten itu yang masuk wilayah Ibu Kota Nusantara (IKN) ada kompensasi dari pemerintah pusat.

“Kami sepakat perjuangkan aset darah yang masuk wilayah IKN,” ujar Wakil Ketua II DPRD Kabupaten Penajam Paser Utara Andi Muhammad Yusuf ketika ditanya mengenai aset darah yang masuk wilayah IKN di Penajam, Kamis (26/6/2025).

Regulasi memang menyatakan aset yang masuk wilayah IKN secara otomatis diambil Otorita IKN, lanjut dia, tetapi diharapkan ada kebijakan khusus agar aset tidak semua diambil dan ada aset perwakilan kabupaten.

Otorita IKN bisa mengusulkan perubahan status terhadap lahan pemerintahan, permukiman, dan kawasan kehutanan menjadi areal penggunaan lain (APL), menurut Andi, agar masyarakat kabupaten bisa memilikinya untuk meningkatkan roda perekonomian daerah.

“Aset milik Kukar yang diambil alih capai triliunan rupiah yang terdiri atas bangunan, tanah, dan lainnya. Jadi, kami harapkan ada kompensasi,” kata Ketua DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara Ahmad Yani.

Kompensasi atau perhatian maupun bantuan khusus dari pemerintah pusat atau Otorita IKN diharapkan oleh Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai daerah asal yang sebagian wilayahnya masuk kawasan IKN.

Salah satu aset berharga dan vital milik Kabupaten Kutai Kartanegara yang masuk dalam kawasan IKN, yakni sektor migas. Kabupaten Kukar mendapatkan dana bagi hasil sektor migas menunjang pembangunan dan pengembangan daerah.

“Akan tetapi, penghasilan dana bagi hasil minyak dan gas (migas) itu terancam hilang,” ujarnya.

Sinergi antara Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara mewujudkan harapan kedua daerah itu, menurut Ahmad Yani, sangat penting.

DPRD Kabupaten Penajam Paser Utara dan DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara sepakat untuk berjuang bersama mendapatkan kompensasi atau perhatian khusus dari pemerintah pusat maupun Otorita IKN terkait dengan aset kabupaten yang diambil alih karena masuk delineasi IKN.

Kedua lembaga legislatif itu melakukan pembahasan mengenai IKN ketika DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara melakukan kunjungan kerja ke DPRD Kabupaten Penajam Paser Utara. (ANT/KN)

Seskab Teddy: 55 Pembangkit EBT di 15 Provinsi, Serap 9.500 Tenaga Kerja

0

JAKARTA – Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya mengungkapkan bahwa peresmian sejumlah pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang tersebar di 15 provinsi menyerap lebih dari 9.500 tenaga kerja nasional.

Peresmian yang dilakukan oleh Presiden RI Prabowo Subianto secara hybrid pada hari Kamis (26/6/2025) itu juga meliputi peletakan batu pertama lima pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP).

“Proyek-proyek yang diresmikan hari ini mencakup total kapasitas 379,7 megawatt dengan nilai investasi sekitar Rp25 triliun yang dapat mendorong pertumbuhan industri lokal, serta menyerap lebih dari 9.500 tenaga kerja secara nasional,” kata Seskab Teddy dalam keterangan diterima di Jakarta, Kamis (26/6/2025).

Peresmian dan pembangunan 55 pembangkit energi baru dan terbarukan itu dipusatkan di PLTP Blawan Ijen Unit 1, Bondowoso, Jawa Timur.

Dalam sambutannya pada peresmian, Presiden Prabowo menegaskan bahwa proyek-proyek tersebut merupakan tonggak penting dalam mewujudkan kemandirian energi nasional yang berkelanjutan.

“Kedaulatan energi merupakan bagian dari kedaulatan bangsa,” kata Presiden.

Presiden juga turut meresmikan peningkatan produksi minyak sebesar 30.000 barel per hari di Proyek Banyu Urip, Blok Cepu, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.

Dengan penambahan 30.000 barel per hari, kata Teddy, blok tersebut memiliki total produksi migas mencapai 180.000 barel per hari, atau 25 persen dari total lifting nasional.

Nilai investasi proyek Blok Cepu sendiri tercatat mencapai 4 miliar dolar AS dan telah menyumbang lebih dari 35 miliar dolar AS terhadap pendapatan negara, serta meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) di Cepu dan Jawa Timur.

“Blok Cepu juga telah memperkerjakan 99 persen karyawan dalam negeri,” tulis Teddy dalam keterangannya.

Presiden Prabowo Subianto juga menekankan pentingnya transisi menuju swasembada energi berbasis sumber daya nasional yang bersih dan efisien.

Kepala Negara optimistis energi surya akan menjadi kunci untuk membangun kemandirian energi di seluruh penjuru Tanah Air, termasuk daerah-daerah terpencil. (ANT/KN)

Patah Tulang dan Pendarahan Jadi Penyebab Kematian WN Brasil di Rinjani

0

DENPASAR – Dokter Forensik Rumah Sakit Bali Mandara (RSBM) mengungkap hasil autopsi terhadap jenazah warga negara Brasil JDSP (27) atau Juliana yang terjatuh ketika mendaki Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat (21/6/2025).

Dokter Spesialis Forensik Rumah Sakit Bali Mandara Ida Bagus Putu Alit di Denpasar, Jumat mengatakan berdasarkan hasil pemeriksaan pada tubuh Juliana, ditemukan luka-luka di seluruh tubuh korban dengan dominasi luka lecet geser yang menandakan korban terkena benda-benda tumpul saat terjatuh di Cemara Nunggal, jalur menuju puncak Gunung Rinjani, NTB.

Dia pun mengungkapkan penyebab kematian Juliana yakni karena benturan benda tumpul. “Penyebab kematian karena kekerasan tumpul yang menyebabkan kerusakan,” katanya.

Dia menjelaskan selain ditemukan luka kekerasan tumpul, forensik juga menemukan patah tulang di bagian dada, tulang belakang, punggung dan tulang paha. Luka paling parah di bagian belakang atau punggung.

“Dari patah-patah tulang inilah terjadi kerusakan organ dalam dan pendarahan,” ungkapnya.

Dokter Alit mengungkapkan luka di kepala korban disebut belum menimbulkan herniasi pada otak, kemudian luka di bagian dada dan perut mengalami pendarahan cukup banyak dan tidak ada organ yang mengkerut. Pendarahan paling banyak terjadi di rongga dada korban.

Atas dasar pemeriksaan medis tersebut, Dokter Alit menyimpulkan korban meninggal dalam jangka waktu yang sangat singkat dari luka yang terjadi.

“Kami tidak menemukan bukti-bukti bahwa kematian itu terjadi dalam jangka waktu yang lama dari luka terjadi,” katanya.

Alit mengungkap pihaknya masih menunggu hasil pemeriksaan toksikologi.

Terkait dugaan korban meninggal karena hipotermia, Dokter Alit mengungkapkan pihaknya tidak dapat memastikan karena kondisi jenazah saat diautopsi sudah dimanipulasi dengan dimasukkan dalam freezer.

“Penyebab kematian karena kekerasan tumpul yang menyebabkan patah tulang dan kerusakan organ dalam. Untuk sementara begitu karena harus menunggu hasil pemeriksaan toksikologi,” pungkas Alit.

Dokter Alit mengungkap pemeriksaan luar jenazah Juliana dilakukan pada Kamis (26/5/2015) sekitar pukul 22.05 Wita. Setelah selesai melakukan pemeriksaan luar, kemudian dilanjutkan autopsi. (ANT/KN)

Zona Nilai Tanah Perdana Diresmikan di Kukar, Langkah Awal Perbaikan Sistem Tata Ruang

TENGGARONG – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kutai Kartanegara (Kukar) mencetak tonggak baru dalam pengelolaan pertanahan, dengan menetapkan satu kecamatan sebagai wilayah perdana Zona Nilai Tanah (ZNT). Penetapan ini dilakukan bekerja sama dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kukar.

Langkah ini bukan sekadar pemetaan nilai tanah, melainkan pondasi menuju sistem penataan ruang yang lebih terukur dan adil. ZNT menjadi acuan penting dalam penentuan nilai properti, besaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta perencanaan wilayah ke depan.

“ZNT dibuat berdasarkan survei dan kajian lapangan. Setiap titik tanah dipetakan sesuai lokasi dan potensinya, apakah berada di jalan utama, di belakang bangunan, atau lahan sisa,” jelas Sekretarus Kabupaten (Setkab) Kukar, Sunggono, Jumat (27/6/2025).

Hasil penetapan ini akan menjadi model awal yang diperluas ke kecamatan lainnya, termasuk Muara Kaman yang telah masuk dalam daftar selanjutnya.

“Target kita seluruh wilayah Kukar memiliki nilai tanah yang terukur. Ini penting sebagai acuan pembangunan yang berkeadilan dan memudahkan masyarakat serta investor,” tegasnya.

Pemerintah daerah juga tengah berupaya mempercepat proses sertifikasi aset milik daerah. Dari lebih dari 2.400 aset, baru 37 yang memiliki sertifikat resmi. Permasalahan utama, menurut Sunggono, terletak pada kelengkapan dokumen dari masing-masing OPD.

“Ini jadi atensi serius, bahkan masuk dalam pemantauan KPK karena menyangkut tata kelola aset daerah,” katanya.

Penetapan ZNT disebut tidak hanya berdampak pada transaksi jual beli lahan, tetapi juga berdampak langsung pada nilai investasi dan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan nilai tanah yang jelas dan terdokumentasi, potensi pajak dari sektor properti akan meningkat secara bertahap.

“Kita ingin agar nilai tanah naik secara wajar dan terukur, yang pada akhirnya ikut mendorong peningkatan PAD Kukar,” tutupnya. (Adv)

Diskop UKM Kukar Genjot Legalitas, Koperasi Merah Putih Ditarget Mulai Jalan di 2025

TENGGARONG – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kutai Kartanegara (Kukar) melalui Dinas Koperasi dan UKM (Diskop UKM) menargetkan seluruh Koperasi Merah Putih bisa mulai beroperasi sebelum tahun 2026. Meski peluncuran besar-besaran dijadwalkan tahun depan, tahapan legal dan pemetaan usaha dipastikan rampung tahun ini.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Diskop UKM Kukar, Taufik Zulfian Noor, menegaskan pihaknya tidak ingin menunggu sampai tahun depan untuk bergerak. Fokus utama saat ini adalah memastikan koperasi yang dibentuk benar-benar siap menjalankan usaha.

“Kami tidak menunggu 2026. Di sisa 2025 ini, kami sudah menyiapkan rencana kerja, termasuk pemetaan potensi bisnis dan kendala yang mungkin dihadapi,” ujar Taufik, Jumat (27/6/2025).

Salah satu sektor yang menjadi perhatian utama adalah distribusi LPG, yang kini dikirik untuk mulai dijalankan oleh 237 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Untuk itu, sinergi dengan Pertamina terus dibangun agar pasokan elpiji bisa terjamin di lapangan.

Selain menyusun peta usaha, Diskop UKM Kukar juga tengah mengebut kelengkapan legalitas koperasi, mulai dari NPWP, Nomor Induk Usaha, hingga akta notaris. Targetnya, semua dokumen rampung sebelum akhir Juni 2025.

“Kami ingin memastikan bahwa begitu legalitas selesai, bisnis koperasi langsung bisa berjalan. Tidak ada gunanya memiliki SK jika tidak ada usaha yang dijalankan,” tegas Taufik.

Diskop UKM sendiri menyediakan tiga skema pembentukan koperasi. Pendirian baru, revitalisasi koperasi lama, dan pengembangan koperasi eksisting. Namun, mayoritas program saat ini difokuskan pada pendirian koperasi baru.

“Revitalisasi membutuhkan RAT dan persetujuan anggota untuk konversi. Belum lagi jika ada utang lama yang bisa membebani anggota baru. Maka kami dorong pendirian koperasi baru yang lebih bersih dan fokus,” jelasnya.

Meski demikian, Diskop UKM tetap membuka ruang bagi koperasi lama yang ingin bertransformasi atau bergabung, baik sebagai entitas usaha maupun sebagai mitra dalam ekosistem koperasi Kukar. (Adv)

Penulis : Ady Wahyudi
Editor : Muhammad Rafi’i

Pasca Putusan MK, Bola Panas Pemilu 2029 Kini di Tangan DPR dan Pemerintah

Tiba-tiba kolega saya, Komisioner KPU Bontang Acis Maidy Muspa, mengirimkan tautan YouTube. “Ini tadi dibahas, Pak. Bisa ditonton lah,” katanya dalam pesan singkat.

Link itu berisi siaran ulang diskusi publik yang digelar Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang sistem Pemilu serentak, Jumat (27/6/2025).

Saya menduga, link ini dikirimkan setelah ia membaca ulasan saya sebelumnya soal implikasi putusan MK terhadap masa jabatan anggota DPRD. Dan benar saja. Isi diskusinya padat dan strategis. Bukan sekadar ruang akademik, tapi ajakan untuk memikirkan ulang seluruh desain Pemilu ke depan. Terutama oleh mereka yang selama ini merasa tak tersentuh reformasi elektoral.

Putusan MK sudah diketuk. Format pemilu lima kotak resmi ditinggalkan. Tapi, siapa yang akan memastikan transisi ini berjalan rapi dan konstitusional?

Saya tonton jalannya diskusi dari awal. Ini bukan semata urusan para ahli, tapi momentum krusial yang seharusnya menggugah partai politik, penyelenggara pemilu, pembentuk UU, dan publik luas.

Fadli Ramadhanil, Peneliti Senior dan Koordinator Divisi Hukum Perludem

Fadli Ramadhanil, Peneliti Senior dan Koordinator Divisi Hukum Perludem, membuka dengan penegasan yang langsung mengarah ke inti masalah. “Kita sudah dua kali mengalami Pemilu serentak lima kotak. Capek semua. Pemilih bingung, partai kelelahan, penyelenggara kewalahan,” ujarnya.

Menurut Fadli, sistem ini sudah membebani semua pihak, dan tak lagi relevan dengan semangat pelembagaan demokrasi.

Ia juga menyoroti bahwa ketidaksiapan partai politik untuk melakukan rekrutmen dan kaderisasi sepanjang waktu memperlihatkan kelemahan struktural. “Kalau semua pemilu ditumpuk dalam satu tahun, partai hanya bekerja lima tahunan. Itu bukan pelembagaan, itu pragmatisme,” tegasnya.

Heroik Pratama, Peneliti Senior Perludem, memberikan peringatan tentang implikasi teknis di lapangan. “KPU dan Bawaslu daerah akan habis masa jabatannya di 2027. Kalau Pemilu lokal dilaksanakan 2031, siapa yang bekerja mengelola tahapan? Harus ada rekrutmen ulang dengan masa tugas yang disesuaikan,” katanya.

Ia juga menyentil legitimasi politik. “Pj (Penjabat Red.) itu bukan solusi ideal. Kita sudah lihat sendiri polemiknya di Pilkada 2024. Kalau perlu diperpanjang masa jabatan, harus dengan dasar konstitusional yang jelas. Jangan dibiarkan menggantung,” sebutnya.

Sejumlah pembicara dalam diskusi juga menyinggung kemungkinan perpanjangan masa jabatan anggota DPRD sebagai opsi transisi, asalkan ditempuh melalui revisi undang-undang yang terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Opsi ini dinilai lebih realistis dibanding membiarkan kekosongan kursi legislatif atau merancang skema baru yang belum teruji.

Namun, pandangan kritis juga tak sedikit. Salah satunya datang dari Charles Simabura, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, yang menjadi suara paling keras soal kepastian hukum. “DPR dan Pemerintah terlalu nyaman menunda. MK akhirnya mengambil alih karena pembentuk UU tak bergerak. Tapi ingat, memperpanjang masa jabatan DPRD itu tak punya dasar. DPRD itu lembaga kolektif, tidak bisa ditunjuk penjabat seperti kepala daerah,” tegasnya.

Charles juga mengingatkan bahwa jika Pemilu lokal dilaksanakan 2,5 tahun setelah Pemilu nasional, maka akan muncul ruang kekosongan kekuasaan. “Kita butuh kejelasan, bukan spekulasi. Jangan tunggu sampai 2028 baru panik. Undang-undang transisi harus dibahas sekarang. Dan ini tak boleh dibungkus dalam wacana elite saja, harus terbuka dan menyertakan publik.”

Ia bahkan mengusulkan agar pemetaan ulang norma hukum dilakukan melalui kodifikasi dua kitab pemilu: satu untuk pemilu nasional, satu untuk pemilu lokal. “Karena pola kerja, koalisi, logistik, bahkan rekrutmen caleg dan kampanye akan sangat berbeda. Kita butuh sistem yang mampu mengantisipasi bukan hanya tanggal, tapi juga dinamika politiknya,” tuturnya.

Khoirunnisa Nur Agustyani, Direktur Eksekutif Perludem, menekankan bahwa kita butuh perubahan cara pandang terhadap sistem pemilu. “Ini bukan hanya soal teknis hari pencoblosan. Tapi bagaimana kita memahami pemilu sebagai proses berjenjang antara pusat dan daerah. Ada kebutuhan untuk memisahkan secara tegas antara Pemilu nasional dan lokal, baik dari segi desain maupun tujuannya,” katanya.

Ia juga menegaskan pentingnya membangun struktur politik yang memungkinkan kaderisasi berkelanjutan. “Jangan sampai Pemilu hanya jadi pesta lima tahunan tanpa kesinambungan. Ini saatnya menyusun ulang peta demokrasi kita secara lebih matang dan berjenjang.”

Hadar Nafis Gumay, Pendiri Netgrit dan mantan Komisioner KPU RI, menambahkan bahwa pekerjaan besar justru baru dimulai. “Putusan MK ini baru pintu masuk. Reformulasi desain penyelenggaraan pemilu harus segera dimulai. Kalau tidak, kita hanya memindahkan kekacauan dari satu tahun ke tahun lain,” sebutnya.

Ia juga mengingatkan bahwa masa jabatan penyelenggara pemilu di pusat dan daerah harus selaras dengan tahapan baru, agar tidak ada benturan operasional.

Semua pernyataan itu membawa kita pada satu titik kesimpulan: keputusan sudah ada, tapi desain pelaksanaannya masih kosong.

Jika transisi ini tidak dirancang dengan matang dan disepakati bersama, maka bukan demokrasi mapan yang akan kita panen, melainkan kekacauan administratif dan krisis legitimasi.

Kita tidak bisa membiarkan keputusan besar ini tanpa arah. Mahkamah Konstitusi sudah memberi dasar hukum. Tugas menyusun aturan main selanjutnya ada di tangan DPR dan Pemerintah. Kalau mereka lambat bergerak, kekosongan hukum dan kekacauan teknis akan jadi masalah nyata.

Sebagai masyarakat, kita tidak boleh diam. Yang dipertaruhkan bukan hanya jadwal pemilu, tapi masa depan demokrasi. (*)

Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.

Setelah Putusan MK: Masa Jabatan DPRD Diperpanjang 2 Tahun?

Di tengah saya menyimak siaran langsung sidang PHPU Mahakam Ulu yang ternyata masih berlanjut ke tahap pembuktian Kamis (26/6/2025), perhatian saya langsung teralih ke sidang lain yang tak kalah penting.

Pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi atas gugatan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dengan nomor perkara 135/PUU-XXII/2024 terhadap sistem pemilu lima kotak.

MK mengabulkan permohonan Perludem. MK menyatakan sistem pemilu serentak sebagai inkonstitusional bersyarat, dan memerintahkan agar pemilu nasional dan pemilu daerah dipisah mulai 2029.

Ini bukan keputusan kecil. Kita tahu, UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 disusun dengan semangat menyatukan semua kontestasi dalam satu hari pemilihan. Lima kotak, satu momentum, satu efisiensi. Alasannya jelas. Menekan biaya, menyederhanakan logistik, dan menguatkan kepemimpinan politik yang terintegrasi dari pusat hingga daerah.

Tapi arah itu kini dibalik. MK menilai keserentakan justru membebani pemilih, melemahkan partai politik, dan membuat isu lokal tenggelam dalam riuh kampanye nasional. Maka, mulai 2029, pemilu akan dipisah: nasional lebih dulu, daerah dua tahun kemudian.

MK menyatakan sistem pemilu serentak lima kotak—Presiden, DPR RI, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota—adalah inkonstitusional secara bersyarat. Ke depan, pemilu nasional dan pemilu daerah harus dipisah pelaksanaannya. Pemilu untuk Presiden, DPR, dan DPD akan digelar lebih dulu. Dua hingga dua setengah tahun kemudian, barulah pemilu daerah digelar, untuk memilih kepala daerah dan DPRD di semua tingkatan.

Alasannya tampak rasional. Tapi di balik itu, ada satu pertanyaan besar yang tidak dibahas MK dan harus dijawab pemerintah maupun DPR: bagaimana nasib masa jabatan DPRD hasil Pemilu 2024?

Kalau pemilu nasional digelar 2029, logikanya pemilu daerah digelar 2031. Otomatis, masa jabatan DPRD akan molor menjadi tujuh tahun. Lalu, dasar konstitusionalnya apa? Rakyat memilih mereka untuk lima tahun.

 

Pasal 22E UUD 1945 menyatakan jelas: pemilu diadakan setiap lima tahun sekali. Kalau diperpanjang lewat revisi UU, itu bukan reformasi. Itu pengkhianatan terhadap mandat rakyat.

Alternatifnya, masa jabatan justru dipotong demi menyesuaikan jadwal baru. Tapi ini juga absurd. Rakyat memilih untuk lima tahun, bukan tiga tahun. Siapa yang berhak memangkas waktu pengabdian yang dipilih langsung jutaan suara?

Jujur saja, kita sedang berjalan menuju ketidakpastian hukum. Pemerintah dan DPR memang bisa merevisi UU Pemilu dan UU Pemerintahan Daerah. Tapi jangan lupa: tidak ada satu pun pasal yang membolehkan perpanjangan masa jabatan anggota DPRD tanpa pemilu. DPRD bukan kepala daerah. Tidak ada mekanisme penjabat DPRD. Dan kalau pun dipaksakan, itu artinya kita menciptakan kekacauan baru dalam sistem perwakilan.

Kepada wartawan, Wakil Ketua Komisi II DPR, Dede Yusuf, menyebut DPR akan mengkaji revisi UU secara mendalam. “Kemungkinan besar DPRD akan bertambah masa jabatan sekitar dua tahun,” katanya.

Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya, juga mengatakan hal serupa. Pemerintah akan merespons lewat revisi undang-undang, tapi belum punya rumusan jelas. “Eksekusinya masih akan dipelajari secara detail,” ucapnya.

Sementara itu, ruang publik sudah lebih dulu bereaksi. Video amar putusan MK ramai dibagikan di TikTok. Tagar #PemiluPisah dan #Jeda2Tahun naik jadi tren. Komentar masyarakat tak main-main: “DPRD dapat bonus dua tahun? Itu bukan demokrasi. Itu akal-akalan!”

Pandangan pengamat pun bermunculan. Jeirry Sumampow, Koordinator Komite Pemilih Indonesia, menyebut pemisahan pemilu memang membuat proses lebih tertata dan beban kerja penyelenggara lebih ringan. Tapi ia juga mengingatkan soal beban fiskal yang membengkak, potensi kejenuhan pemilih, hingga suburnya praktik “lompat panggung” politik antar pemilu.

Jika tidak dikelola dengan aturan ketat dan transparan, demokrasi bisa terjebak pada pola coba-coba dan kepentingan jangka pendek.

Kita tidak sedang mempermasalahkan semangat perubahan yang dibawa putusan MK. Putusan ini baru diketuk, dan wajar jika pemerintah serta DPR belum langsung punya jawaban utuh. Tapi justru karena itulah, pembahasan lanjutan menjadi krusial. Dan sebaiknya dimulai sejak sekarang, terbuka, serta melibatkan suara publik.

Untuk Kaltim, percakapan ini juga sudah mengemuka ke mana-mana. Di grup WhatsApp, di linimasa media sosial, bahkan di TikTok. Sudah ada yang menyebarkan bagan jadwal pemilu 2029 dan 2031, lengkap dengan asumsi bahwa masa jabatan DPRD akan diperpanjang sampai tujuh tahun.

Pertanyaan pun bermunculan. Benarkah akan diperpanjang? Dasarnya apa? Apa berlaku nasional atau hanya di daerah tertentu? Semua bertanya karena publik tak ingin hanya menonton saat arah demokrasi ditentukan dari atas meja. Apalagi Kaltim bukan wilayah biasa.

Provinsi ini sedang menjadi panggung utama pembangunan nasional. Di sini, Ibu Kota Nusantara dibangun. Di sini juga, DPRD punya peran penting: mengawal anggaran, menjaga keseimbangan pembangunan, dan mewakili suara warga dari pesisir hingga perbatasan.

Kalau masa jabatan mereka akan diperpanjang atau disesuaikan, itu bukan urusan administratif semata. Itu soal mandat. Dan mandat publik tidak bisa digeser begitu saja tanpa penjelasan.

Karena itu, pascaputusan MK ini sebaiknya tak dibiarkan mengambang. Warga berharap ada kejelasan sejak awal, agar tak muncul tafsir liar, polemik berkepanjangan, atau, yang paling dikhawatirkan, kekacauan politik di daerah.

Kaltim butuh kepastian. Bukan sekadar agar roda pemerintahan tetap jalan, tapi agar kepercayaan publik pada proses demokrasi tetap utuh. Jangan sampai ketidaksiapan pusat menciptakan masalah baru di daerah. (*)

Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.