Saya mengenal baik Kepala Desa Batuah, Abdul Rasyid. Sekitar 17 tahun lalu, saat ia masih aktif sebagai wartawan di Kaltim Post, saya redakturnya. Rasyid bukan sekadar jurnalis lapangan, ia pekerja keras yang tekun membangun karier hingga dipercaya menjabat sebagai Manajer Pemasaran sebelum akhirnya mengundurkan diri.
Karena itulah, saya tahu persis bagaimana perjalanan dan integritasnya. Dari jurnalis hingga menjadi pemimpin desa di Kukar. Kini, ia memasuki periode kedua sebagai kepala desa.
Tapi tulisan ini, saya tidak membahas siapa Rasyid, melainkan soal ketegangan dan tudingan yang menyelimuti desanya pasca longsor di Kilometer 28 poros Samarinda–Balikpapan, Dusun Tani Jaya, pada 18 Mei 2025 lalu.
Longsor ini tidak hanya merusak 22 rumah warga dan 1 masjid, tetapi juga menggoyahkan kepercayaan masyarakat. Sebagian kelompok langsung menuding aktivitas tambang PT Baramulti Suksessarana Tbk (BSSR) sebagai penyebab. Tuntutan muncul: dari kompensasi, penghentian operasi tambang, hingga pencopotan kepala desa.
Padahal, berbagai lembaga telah turun. Universitas Mulawarman (Unmul), melalui kajian akademisnya, menyebut bahwa longsor dipicu kondisi geologi Formasi Kampung Baru yang memang labil, diperparah curah hujan tinggi. Dinas ESDM pun menegaskan bahwa disposal tambang berada pada jarak aman, sesuai regulasi. Tapi sebagian tetap menolak hasil kajian dan menyebut semua pihak “dibungkam perusahaan.”

Saya menelepon langsung Rasyid, Minggu (29/6) pagi tadi. Hampir satu jam kami berbincang. Tak ada skrip, tak ada basa-basi. Ia bicara apa adanya. Tegas, terus terang, dan tanpa berusaha membungkus ucapannya dengan kalimat manis. Nada suaranya terdengar letih, tapi jelas: ia ingin publik tahu bahwa desa ini tidak sedang diam. Apalagi berpangku tangan.
“Kalau memang perusahaan bersalah, saya yang akan tutup sendiri. Saya yang akan meminta ganti rugi ke perusahaan. Saya taksir totalnya, Rp 10 miliar. Perusahaan pasti bisa keluarkan dananya. Tapi kalau tidak ada buktinya, apa dasar saya? Kita ini kerja pakai data, bukan prasangka,” tegasnya.
Ia menjelaskan pemerintah desa juga tengah berusaha mencarikan solusinya. Termasuk menyiapkan tempat tinggal sementara dan akan membangunkan posko. Tapi beberapa warga tidak bersedia dengan berbagai alasan. Sehingga, ia pun keluarkan dana pribadi untuk membantu warga.
“Rp30 juta saya keluarkan untuk tali asih. Itu bukan dari APBD, tapi dari kantong saya sendiri. Setidaknya misal dana itu dibagi per KK bisa dapat Rp 2 juta, maka bisa untuk sewa sementara,” katanya.
“Tapi mereka ini kan keluarga besar. Ada yang tinggal sama anaknya, atau keluarganya,” tambahnya. Selain itu, bantuan sembako juga rutin disalurkan perusahaan PT BSSR kepada lebih dari 50 kepala keluarga.
Soal masjid yang roboh, ia mengatakan, dari usulan Pemdes, Pemkab Kukar sudah perintahkan Kesra untuk segera membangunnya. “Tinggal tunjukkan lokasi, langsung dibangun. Tapi tetap saja, semua dianggap lambat dan tidak kerja. Terus maunya apa?” ujarnya.
Ia juga menyayangkan tudingan bahwa pemerintah diam atau berpihak ke perusahaan. “Pemerintah sudah bekerja. Jalan sudah bisa dilintasi, lahan disiapkan, Perkim turun. Tapi semua ini seolah tidak terlihat karena orang lebih senang menyalahkan,” katanya.

Yang membuatnya paling kecewa adalah karena sebagian pendemo, ternyata bukan warga terdampak. Bahkan melibatkan orang-orang dari Samarinda. “Warga Batuah yang kerja di perusahaan ada 2.085 orang. Yang demo hanya segelintir. Bahkan ada yang dulu jual lahannya, sekarang ikut teriak,” ungkapnya. “Kalau tambang ditutup hari ini, saya nggak ada masalah. Tapi bagaimana ribuan orang kehilangan pekerjaan. Siapa yang mau tanggung cicilan mobil dan motor mereka?”
Dari data yang dikantongi pemerintah desa, 22 kepala keluarga terdampak serta 1 unit rumah ibadah di RT 24 dan 25 Tani Jaya telah dicatat secara resmi. Namun menariknya, tidak sedikit dari mereka—yang kini paling vokal dalam menyuarakan tuntutan—merupakan warga yang sebelumnya telah menjual lahannya kepada perusahaan tambang. Bahkan ada yang sudah memiliki lahan di tempat lain.
“Sudah jual tanah ke perusahaan, sudah lama menikmati keberadaan tambang, tapi sekarang ikut meneriakkan tuntutan seolah-olah tak tahu-menahu. Kita ini harus jujur,” ujar Rasyid.
Ia juga menanggapi isu relokasi. “Pemerintah sudah siapkan lahan. Tapi statusnya pinjam pakai. Mereka maunya jadi hak milik. Kalau begitu, silakan sediakan lahannya sendiri, baru pemerintah bangunkan. Tapi semua ada tahapannya,” jelasnya.
Rasyid menolak jika kajian akademik dari Unmul dianggap main-main. “Kalau Unmul saja tidak dipercaya, mau percaya siapa? Dosen-dosen itu bersumpah menjalankan tugas keilmuan, mereka juga mempertaruhkan kredibilitas.”
Terkait tuduhan bahwa gerakan warga murni, ia bersikap tegas. “Silakan peduli, tapi dengan cara yang baik. Gerakan boleh, tapi tertib. Jangan ada yang mengajarkan mencaci. Waktu RDP, saya sudah sampaikan semua ini,” ucapnya.
Ia pun tak menutup mata jika ada pihak luar yang memanfaatkan situasi. “Jangan karena ada keinginan yang tak tercapai, lalu dibungkus jadi tuntutan moral. Kalau semua dianggap salah, dan hanya satu pihak yang benar, itu bukan perjuangan.”
Rasyid menegaskan, jalan yang longsor juga telah diperjuangkan agar segera bisa digunakan kembali. “Kami sudah rapat dengan pihak Balai Jalan. Bahkan blokir dana pusat pun sedang diurus. Tapi tetap saja dibilang tidak kerja.”

Saat ini DPRD Kaltim dan Dinas ESDM sedang memfasilitasi penyelidikan tambahan melalui tim inspektorat tambang. Jika nantinya ditemukan bukti bahwa aktivitas tambang memang menjadi penyebab longsor, maka perusahaan wajib bertanggung jawab. Tapi jika tidak, tuduhan yang selama ini dilontarkan harus dihentikan.
Mari kita menahan diri. Situasi ini butuh ketenangan, bukan provokasi.
Biarkan proses berjalan sebagaimana mestinya. DPRD, Dinas ESDM, hingga tim akademik dari Unmul sudah bekerja. Jika memang ada yang tidak sepakat, ajukan data. Buka ruang dialog. Bukan dengan teriakan, apalagi tuduhan tanpa dasar.
Dalam surat resmi tertanggal 26 Juni 2025, Aliansi Solidaritas Tani Jaya juga telah mengirimkan permohonan kepada Menteri ESDM RI, Bahlil Lahadalia. Isinya: mendesak penghentian operasional PT BSSR dan evaluasi menyeluruh atas dugaan keterlibatan tambang dalam peristiwa longsor. Mereka menyebut longsor telah menyebabkan “hilangnya tempat tinggal” dan meminta adanya “kejelasan atas kerugian hingga ganti rugi.”
Kini, kita tinggal menunggu sikap resmi dari Menteri ESDM. Dan apa pun hasil keputusan tersebut—apakah membuktikan adanya pelanggaran atau justru sebaliknya—semua pihak harus siap menerimanya dengan lapang dada. Jangan ada lagi tudingan sepihak, jangan pula ada yang membajak situasi untuk kepentingan pribadi atau politik.
Yang lebih dibutuhkan saat ini bukanlah kemarahan, melainkan kejelasan, kesabaran, dan kemauan untuk menghormati proses serta menerima fakta, apa pun hasilnya nanti. (*)
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.