SAYA memang tidak hadir secara fisik di halaman Masjid Agung Tenggarong, saat serah terima memori jabatan Bupati Kutai Kartanegara (Kukar), Senin, 30 Juni 2025. Tapi saya menyimaknya lewat video rekaman yang dikirim wartawan Media Kaltim Network dan potongan video dan foto dari akun TikTok Edi Damansyah serta Wakil Bupati Rendi Solihin.
Saya melihat wajah-wajah yang berkumpul. Warga menyimak dalam diam, sebagian menahan haru. Video itu merekam momen langka: seorang pemimpin pamit bukan dengan panggung, tapi dengan pelukan.
Suara Pak Edi rendah, tidak bergetar, tapi mengandung kepasrahan yang kokoh. Bukan politisi yang diturunkan kekuasaan, tapi pejuang yang menyerahkan amanah dengan kepala tegak.
“Saya didiskualifikasi oleh Mahkamah Konstitusi, air mata saya tidak menetes. Tapi subuh tadi, air mata saya menetes, karena masjid ini penuh dengan jemaahnya,” katanya.


Saya paham maksud kalimat itu. Ia tak bicara soal politik. Ia bicara soal rindu. Soal getar spiritual dari masyarakat yang setia padanya. Tak peduli ia masih menjabat atau tidak.
Sebab Edi Damansyah bukan hanya Bupati. Ia sahabat petani, guru untuk birokrat, pengayom nelayan, dan penyambung lidah warga kampung.
Air matanya tidak tumpah saat Mahkamah Konstitusi mendiskualifikasinya. Tapi subuh tadi, katanya, matanya menetes. Itulah Edi Damansyah. Pemimpin yang justru melembut saat kekuasaan dicabut. Bukan marah-marah. Bukan menyulut api.
Tak mudah menghapus jejak Edi, karena ia telah menanamkan banyak kerja nyata di daerah ini. Bukan jabatan yang membentuknya, tapi kedekatannya dengan rakyat
Dan Edi tidak ke mana-mana. Ia tetap di Kutai Kartanegara. Ia bahkan berjanji tugas sosial kemasyarakatan tidak akan berhenti. “Saya akan terus bersama para sahabat dan masyarakat Kukar,” ucapnya.
Ribuan warga yang hadir tahu, itu bukan sekadar janji. Mereka sudah melihatnya sendiri. Di ladang dan tambak, di dapur rumah dan halaman sekolah, bahkan di masjid-masjid subuh yang penuh pagi tadi. Di sana ada Edi Damansyah: hadir, mendengar, dan bekerja tanpa banyak bicara.
Selama memimpin, Edi Damansyah meninggalkan jejak prestasi yang konkret. Pelayanan publik di Kabupaten Kukar mencatat capaian membanggakan, dengan predikat A yang diraih DPMPTSP dan Disdukcapil.
Dari sisi pengelolaan keuangan, Kukar meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK, serta nilai B untuk reformasi birokrasi dan akuntabilitas kinerja pemerintah (SAKIP).
Di bidang kearsipan, Kukar mendapat predikat BB dari Arsip Nasional, dan dalam keterbukaan informasi publik, Kukar diganjar penghargaan nasional atas komitmennya terhadap transparansi.
Transformasi digital juga berjalan progresif dengan hadirnya 19 aplikasi layanan publik, sebagian besar telah terintegrasi dalam sistem DISAPA.
Program andalannya, Kukar Bebaya, mengalokasikan Rp50 juta per RT dan menjangkau lebih dari 2.800 RT, dilengkapi ribuan kendaraan operasional yang langsung menyentuh struktur komunitas paling bawah.
Capaian ini turut didukung penurunan angka pengangguran dari 5,66 persen menjadi 4,14 persen, memperkuat bukti bahwa kebijakan Edi berdampak nyata.
Di sektor infrastruktur, Kukar menuntaskan pembangunan embung, jaringan irigasi, jalan produksi, serta membuka akses digital dengan membebaskan 225 desa dari blankspot. Festival ekonomi kreatif meningkat drastis, dari hanya 11 event menjadi 60 per tahun, menunjukkan dorongan kuat pada pelaku UMKM dan sektor kreatif.
Dari sisi investasi dan tanggung jawab sosial, Kukar meraih CSR Award (kategori Gold) dan LKPM Award, serta tetap menjaga sinergi dengan pemerintah provinsi dan pusat dalam forum-forum strategis perencanaan.
Tak hanya itu, di bidang olahraga dan kepemudaan, Edi mendorong lahirnya atlet berprestasi seperti Muhammad Taufany Muslihuddin, peraih emas di SEA Games 2023. Ia juga menetapkan struktur baru di KONI Kukar demi transparansi dan efektivitas pembinaan atlet jelang Porprov 2026.

Dan pada saat Aulia Rahman Basri dan Rendi Solihin resmi menerima tongkat estafet, mereka pun tahu: mereka tidak mulai dari nol.
Mereka meneruskan warisan. Seperti dikatakan Aulia, “Softwarenya adalah Edi Damansyah. Hardwarenya adalah Aul-Rendi.”
Pernyataan itu bukan basa-basi. Itu pengakuan. Dan pengakuan paling jujur seorang pemimpin baru bukan pada pidato, tapi pada siapa yang mereka sanjung dalam momen pengukuhan.
Video-video pendek yang saya saksikan menguatkan satu hal: jabatan bisa berganti, tapi kepercayaan rakyat tetap tinggal di hati mereka yang tulus.
Dan Edi Damansyah, meski tak lagi bupati, akan terus bekerja, menyatu dalam kehidupan warga Kukar. Tanpa panggung. Tanpa protokoler. Tapi dengan keberanian yang diam-diam, dengan pengabdian yang tak mengenal masa jabatan. (*)
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.