JAKARTA – Turbulensi merupakan peristiwa yang wajar saat sedang menempuh penerbangan. Bagi kita yang sering bepergian dengan pesawat, hampir pasti mengalami turbulensi. Ciri-cirinya adalah pesawat terasa berguncang tanpa sebab.
Karena merupakan hal yang wajar saat terbang, saat ini di era penerbangan modern, turbulensi bukan lagi menjadi hal yang menakutkan. Apalagi, fitur-fitur pada pesawat masa kini yang canggih juga sudah bisa lumayan meredam salah satu fenomena penerbangan ini.
Soal turbulensi sendiri baru saja menimpa pesawat udara dari maskapai Singapore Airlines. Pesawat milik maskapai Singapura itu dikabarkan mengalami turbulensi parah saat terbang dari London menuju Singapura. Dilansir via BBC, Selasa (21/5/2024), setidaknya satu orang tewas setelah penerbangan penuh ketegangan tersebut.
Pesawat dengan nomor penerbangan SQ321, yang meninggalkan Bandara Heathrow, London pada pukul 22.38 waktu setempat pada Senin (20/5/2024), dialihkan ke Bangkok pada Selasa (21/5/2024). Pesawat tersebut mendarat di Bandara Suvarnabhumi pada pukul 15.45 waktu setempat (16.45 waktu Singapura).
Satu orang tewas dan lebih dari 30 lainnya terluka dalam penerbangan Singapore Airlines dari London yang dilanda turbulensi parah. Pesawat yang berjenis Boeing 777-300ER tujuan Singapura itu seperti sudah disinggung di atas, dialihkan ke Bangkok.
Mengingat merupakan hal yang wajar, kok bisa turbulensi pada pesawat Singapore Airlines SQ 321 sampai menyebabkan satu penumpang tewas dan puluhan lainnya luka-luka?
Dilansir via CNA, turbulensi terjadi ketika pesawat terjebak dalam perubahan aliran udara secara tiba-tiba, yang dapat menyebabkan pesawat berguncang atau tersentak. Shantanu Gangakhedkar, konsultan senior penerbangan di firma riset pasar Frost and Sullivan, mengatakan kepada CNA938 bahwa turbulensi dapat disebabkan oleh sejumlah alasan seperti badai, awan, aliran jet, dan lain-lain.
Jenis gangguan yang paling tidak dapat diprediksi adalah turbulensi udara jernih atau Clear Air Turbulence (CAT) yang bisa terjadi tanpa sebab yang terlihat. CAT sering kali menjadi penyebab cedera karena hal ini dapat terjadi tanpa peringatan, dan awak pesawat mungkin tidak punya waktu untuk menginstruksikan penumpang untuk kembali ke tempat duduknya dan mengencangkan sabuk pengamannya.
“CAT terjadi ketika langit benar-benar cerah. Kita tidak bisa melihatnya dan itu terjadi secara tiba-tiba. Saat ini kami tidak memiliki teknologi untuk memprediksi (atau mendeteksinya), apalagi di ketinggian 36.000 kaki,” kata Gangakhedkar.
Turbulensi tersebut sangat mungkin menyebabkan cedera. Bahkan, penumpang yang sedang duduk pun bisa saja terlempar. Itu tadi, karena udara atau langit sedang cerah, CAT sering terjadi tanpa dugaan.
“Jika ada yang berjalan, bisa saja terlempar jika terjadi turbulensi secara tiba-tiba. Hal ini dapat menyebabkan cedera parah. (Inilah alasannya) disarankan untuk mengenakan sabuk pengaman pada ketinggian jelajah meskipun tanda ‘kencangkan sabuk pengaman’ tidak menyala,” lanjut Gangakhedkar.
Sejalan dengan penjelasan pakar, seorang penumpang yang berbicara kepada Reuters mengatakan turbulensi menyebabkan mereka yang tidak mengenakan sabuk pengaman menabrak kabin di atas kepala.
“Tiba-tiba pesawat mulai miring dan terjadi guncangan sehingga saya bersiap menghadapi apa yang terjadi, dan tiba-tiba terjadi penurunan (ketinggian jelajah) yang sangat drastis sehingga semua orang yang duduk dan tidak mengenakan sabuk pengaman langsung terlempar ke langit-langit,” Dzafran Azmir, 28 tahun mengatakan kepada Reuters.
“Beberapa orang kepalanya terbentur kabin bagasi di atas dan penyok, mereka menabrak tempat lampu dan masker berada dan langsung menerobosnya,” lanjutnya. (JP/KN)