Selasa, Juni 3, 2025
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Teater Yupa Angkat Isu Kesenjangan Sosial Lewat Panggung: “Buku Teater” Tunjukkan Realita yang Sering Terlupakan

SAMARINDA – Auditorium Universitas Mulawarman dipenuhi riuh tepuk tangan selama dua malam berturut-turut, pada 30 dan 31 Mei 2025. Tepat di atas panggung, Teater Yupa yang merupakan salah satu kelompok teater mahasiswa Universitas Mulawarman mempersembahkan pementasan tahunan mereka yang bertajuk Buku Teater.

Tidak hanya sebuah pertunjukan seni, Buku Teater menjadi ruang kontemplasi kolektif. Mengangkat tema besar tentang kesenjangan sosial, pementasan ini menampilkan tiga babak yang masing-masing merepresentasikan berbagai bentuk ketimpangan yang masih mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Di tengah derasnya arus hiburan digital, kehadiran teater ini menjadi semacam “perlawanan senyap” sebuah cara untuk mengingatkan publik bahwa seni panggung tetap punya peran strategis dalam menyampaikan pesan-pesan sosial secara mendalam dan reflektif.

Pementasan dibuka dengan babak pertama yang menampilkan kehidupan para buruh di sebuah pabrik. Narasi yang ditampilkan menunjukkan bagaimana para pekerja secara tidak langsung mengalami eksploitasi oleh para pemilik modal. Meski bekerja keras setiap hari, para buruh tetap hidup dalam tekanan, dengan upah yang tidak sepadan dan minim jaminan. Konflik antara kepentingan pekerja dan keuntungan pemilik menjadi pangkal persoalan.

Cerita ini membuka sebuah kesenjangan relasi kekuasaan yang timpang yang kerap dianggap normal dan diterima begitu saja dalam masyarakat Indonesia. Isu ini terasa relevan di tengah wacana tentang upah layak, kesejahteraan pekerja, dan sistem kerja yang semakin menuntut tanpa memberikan perlindungan yang setara.

                                          Foto: Buruh yang disiksa dalam tekanan oleh pemilik modal

Babak kedua membawa penonton ke ranah pendidikan. Dikisahkan bagaimana akses terhadap pendidikan berkualitas semakin mahal dan sulit dijangkau. Hanya mereka yang berasal dari kalangan atas atau memiliki koneksi sosial tertentu yang bisa memperoleh pendidikan yang baik. Sementara banyak anak-anak dari keluarga kalangan bawah yang harus puas dengan fasilitas seadanya, bahkan terancam putus sekolah.

Panggung seakan menjadi cermin besar yang memantulkan realita pendidikan Indonesia hari ini. Meski negeri ini telah merdeka puluhan tahun, namun pendidikan sebagai jalan keluar dari kemiskinan belum sepenuhnya bisa diakses secara adil oleh semua anak bangsa.

Sementara babak ketiga mengangkat isu yang lebih psikologis dan sosiologis dimana maraknya individualisme dalam kehidupan masyarakat modern, khususnya di wilayah perkotaan. Cerita ini mengisahkan kelompok manusia yang hidup berdampingan, tapi kehilangan hubungan sosial. Empati kian melemah,, dan nilai-nilai kebersamaan mulai memudar di masyarakat.

Pementasan ini mengajak penonton merenungkan sebuah realitas apakah kemajuan kota dan modernitas harus dibayar dengan keterasingan antar manusia?

Bintang Samudra, selaku sutradara dari Buku Teater, saat ditemui seusai pementasan. “Kami ingin menyampaikan bahwa kesenjangan sosial itu nyata, dan masih sangat terasa dalam kehidupan sehari-hari. Lewat panggung ini, kami berharap bisa membangkitkan kesadaran penonton tentang isu kesenjangan sosial.” Ungkapnya

Bintang menambahkan bahwa setiap elemen dalam pertunjukan dari naskah, tata cahaya, blocking panggung, hingga ekspresi pemain disusun untuk memperkuat pesan sosial yang ingin disampaikan.

                                                     Foto: Bintang Samudra, Sutradara dari Buku Teater

“Harapan kami sederhana, agar penonton tidak hanya datang untuk menonton, tapi juga pulang dengan membawa pertanyaan, keresahan, dan mungkin, dorongan untuk peduli,” tutur Bintang.

Beberapa penonton yang hadir memberikan tanggapan positif terhadap pertunjukan ini. Menariknya, banyak dari mereka adalah mahasiswa yang baru pertama kali menyaksikan teater secara langsung.

Mozza, salah satu penonton, mengaku sangat terkesan.
“Kesan aku, ini keren banget. Ini pertama kali aku nonton teater, jadi sangat menarik dan membuka wawasan,” ujarnya antusias.

Ali, yang juga baru pertama kali menonton, mengatakan bahwa kualitas pertunjukan sudah cukup baik, namun tetap bisa dikembangkan lebih jauh.
“Menurutku ini sudah bagus ya. Tapi untuk tahun-tahun berikutnya mungkin bisa lebih ditingkatkan lagi, baik dari segi akting maupun alur cerita,” sarannya.

Tasya, penonton lainnya, menyoroti bagaimana pertunjukan ini tak hanya bicara soal ekonomi, tapi juga menyentuh isu-isu sensitif seperti gender dan politik.
“Menurut aku ceritanya sangat mendidik. Pertunjukan ini relevan banget dengan kondisi sekarang, apalagi soal ketimpangan gender dan politik,” ungkapnya.

Teater Yupa sendiri merupakan salah satu kelompok teater kampus paling aktif di Kalimantan Timur. Sejak berdiri dari tahun 1991, mereka telah melahirkan banyak karya yang konsisten mengangkat isu-isu sosial, budaya, dan kemanusiaan.

Pentas tahunan ini bukan hanya ajang pertunjukan, tapi juga ruang belajar kolektif bagi para anggota teater, mulai dari penulis naskah, sutradara, pemain, hingga kru teknis.

Di tengah tantangan regenerasi minat terhadap teater di kalangan mahasiswa, semangat Teater Yupa membuktikan bahwa seni panggung tidak pernah benar-benar mati. Justru lewat isu-isu yang dekat dengan realitas sosial, teater bisa menjelma menjadi suara yang lantang dan bermakna.

Lewat tema Buku Teater, Teater Yupa tak hanya menyuguhkan hiburan, tapi juga menghadirkan ruang refleksi. Pementasan ini menjadi pengingat bahwa seni bisa berfungsi sebagai cermin, alat kritik, sekaligus medium harapan.

“Kami hanya ingin agar penonton bisa lebih peka terhadap realitas. Teater bukan sekadar panggung hiburan, tapi juga panggung kesadaran,” tutup Bintang.

Di tengah kehidupan yang serba cepat dan penuh distraksi, menyaksikan teater seperti ini adalah pengalaman menyentuh karena sejatinya, di atas panggung itu, kita juga sedang menyaksikan cerminan diri kita sendiri.

Penulis : Abika Ramadhan
Editor :

⚠️ Peringatan Plagiarisme

Dilarang mengutip, menyalin, atau memperbanyak isi berita maupun foto dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari Redaksi. Pelanggaran terhadap hak cipta dapat dikenakan sanksi sesuai UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dengan ancaman pidana penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda hingga Rp4 miliar.

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Most Popular