JAKARTA – Pemerintah Indonesia tengah menyiapkan langkah strategis sebagai respons atas kebijakan kenaikan tarif impor yang diberlakukan Amerika Serikat terhadap produk ekspor dari Indonesia.
Hal tersebut disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (7/4/2025).
Airlangga menjelaskan bahwa tarif impor yang dikenakan terhadap Indonesia mencapai 32 persen. Tarif serupa juga diberlakukan pada negara-negara ASEAN lainnya dengan besaran yang bervariasi.
“Indonesia dikenakan 32 persen. Negara ASEAN lain seperti Vietnam, Kamboja, dan Thailand tarifnya bahkan lebih tinggi. Yang lebih rendah hanya Malaysia, Filipina, dan Singapura,” jelas Airlangga.
Sektor utama yang paling terdampak dari kebijakan ini adalah sektor makanan dan tekstil (food and apparel), yang selama ini menjadi andalan ekspor Indonesia.
“Itu sektor yang terkena paling besar. Tapi kita juga mendengar masukan dari pelaku usaha seperti Apindo dan asosiasi terkait,” ujarnya.
Meski demikian, Airlangga menilai kebijakan ini juga bisa menjadi peluang baru, mengingat besarnya pasar Amerika.
“Pasar mereka besar, dan kita punya potensi untuk tetap bersaing,” tambahnya.
Ia memastikan komunikasi diplomatik dengan Amerika Serikat terus berjalan, termasuk melalui Kedutaan Besar RI di Washington.
“Kedutaan kita sudah berkomunikasi dengan USTR. Mereka sedang menunggu proposal konkret dari Indonesia dalam waktu dekat,” ungkapnya.
Presiden Prabowo Subianto, kata Airlangga, juga telah memberikan arahan langsung agar Indonesia menyampaikan respons diplomatik secara menyeluruh.
“Bapak Presiden sudah berkomunikasi sejak awal. Bahkan minggu lalu beliau berbicara dengan Donald Trump, dan berkoordinasi dengan beberapa pemimpin negara, termasuk Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim,” katanya.
Terkait sikap kawasan, Airlangga menegaskan bahwa ASEAN sepakat mengedepankan jalur negosiasi.
“ASEAN tidak akan mengambil langkah retaliasi. Indonesia bersama Malaysia akan mendorong pembaruan Trade and Investment Framework Agreement (TIFA),” jelasnya.
TIFA sendiri merupakan kerangka kerja sama perdagangan bilateral Indonesia-AS yang telah ditandatangani sejak 1996.
“Banyak isunya sekarang sudah tidak relevan lagi. Kita perlu dorong kebijakan baru yang lebih kontekstual,” tegasnya.
Selain soal tarif, pemerintah Indonesia juga akan mencermati hambatan non-tarif dan potensi impor strategis untuk menekan defisit perdagangan.
“Kita ingin mengisi delta ekspor-impor yang mencapai 18 miliar dolar AS dengan produk strategis seperti gandum, kapas, dan migas,” jelas Airlangga.
Lebih lanjut, pemerintah juga tengah mendorong penguatan kerja sama dagang dalam proyek-proyek strategis nasional.
“Indonesia saat ini sedang membangun proyek strategis seperti refinery, yang komponennya sebagian bisa berasal dari Amerika,” tutupnya.
Sebagai informasi, kebijakan tarif baru dari Pemerintah Amerika Serikat di era Presiden Donald Trump ditujukan untuk melindungi industri dalam negeri. Indonesia termasuk dalam daftar negara yang dikenai tarif impor baru hingga 32 persen, khususnya pada sektor makanan olahan dan tekstil.
Penulis: Fajri
Editor: Agus Susanto