SUDAH cukup lama saya tidak berkomunikasi dengan Bapak Kahar Kalam. Sosok pengusaha yang tak asing lagi di Bontang, apalagi jika bicara kontribusi sektor swasta dalam pembangunan daerah.
Ia adalah Direktur PT Graha Mandala Sakti (GMS), penggagas kawasan wisata mangrove di belakang Perumahan Bukit Sekatup Damai (BSD) Bontang. Kawasan itu sempat viral di awal pembangunannya. Sayangnya, kini terbengkalai. Padahal, Pak Kahar telah menggelontorkan dana hingga Rp12 miliar dari kantong pribadinya. Tapi kali ini, saya tidak akan membahas mangrove. Itu akan saya ulas dalam tulisan terpisah.

Dua hari lalu, melalui sambungan telepon saat ia berada di Singapura dalam perjalanan ke Kuala Lumpur, justru terbuka cerita lain—lebih besar dan lebih strategis. Tentang kebun pertanian dan peternakan yang ia bangun di kawasan Bontang Lestari. Luasnya mencapai 100 hektare. Legal, aktif, dan produktif. Tapi nyaris tanpa dukungan dari pemerintah kota.
Beberapa waktu lalu saya melintas di kawasan itu. Gerbang bertuliskan HKm KTH Graha Mandala Lestari berdiri kokoh. Saat itu saya urungkan niat mampir karena Pak Kahar sedang tidak di tempat. Tapi saya tahu betul isi di dalamnya.
Lahan itu kini menjadi pusat pertanian aktif. Ada kebun cabai, semangka, kelapa, dan peternakan. Pendopo, kandang sapi, tandon air, mesin pencacah kompos, dan alat kultivator tertata rapi. Semuanya bukan proyek dadakan. Itu hasil kerja sama yang ia bangun dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Pemprov Kalimantan Timur.
“Sawit tidak dibolehkan, saya babat semua. Saya ikuti regulasi,” kata Pak Kahar. Ia tahu betul aturan kawasan hutan. Tidak boleh sawit, tidak boleh tambang. Maka ia alihkan seluruh areal menjadi pertanian dan edukasi. Kelapa sawit yang sempat tumbuh ia tebang sendiri agar izin kehutanan bisa dikeluarkan.


Panen semangka ratusan ton saat bulan Ramadan menjadi bukti bahwa lahan ini bukan sebatas klaim. “Pasar lokal cukup. Warga sekitar tidak perlu beli dari luar kota,” ujarnya. Tapi siapa yang tahu?
Semua kegiatan di kebun ini legal. Izin resmi dikeluarkan KLHK. Setelah mempresentasikan konsep ketahanan pangan yang ia rintis, bantuan dari pusat mulai mengalir.
“Bahwa hidup itu harus mempunyai karya. Saya ingin memberikan satu karya di Kota Bontang,” katanya.
“Saya diberi bantuan 50 ekor sapi, gazebo, paving 1.000 meter persegi, tandon, mesin pencacah, alat kultivator. Dan tahun depan, saya dijanjikan dua unit traktor John Deere. Satu unitnya saja Rp750 juta,” sambungnya.
Bantuan memang datang dari provinsi dan kementerian. Tapi yang terasa ganjil justru ketidakhadiran Pemkot. “Sepeser pun tidak. Bahkan datang pun tidak,” ujarnya. Dinas pertanian? Dinas ketahanan pangan? Tak pernah terlihat. Padahal dulu, saat lokasi mangrove masih ramai, mereka kerap mondar-mandir ke sana.
Satu-satunya yang konsisten sejak awal adalah Ibu Endang dari UPTD KPHP Santan. “Beliau datang pertama kali naik motor bersama anak-istri saya. Lihat langsung kondisi awal. Dari situlah semuanya mulai bergerak.”
Yang membuat kawasan ini makin hidup adalah kegiatan yang berlangsung pada 9 Juli lalu. Lokasi ini menjadi tempat pelatihan yang digelar Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur. Temanya jelas dan relevan: Pelatihan Pengembangan Kewirausahaan melalui Perencanaan Bisnis dan Pengembangan Akses Pemasaran Produk Kelompok Perhutanan Sosial Wilayah Bontang dan Kutai Timur. Graha Mandala Lestari bukan lagi sekadar kebun pribadi. Ia berkembang menjadi ruang pembelajaran dan pemberdayaan.
Langkah Kahar ini bukan tanpa pembanding. Di berbagai wilayah lain, model serupa telah lebih dulu terbukti. Seperti Hutan Kemasyarakatan di Gunung Kidul, Yogyakarta, dan Hutan Desa di Jambi dan Bengkulu. Keduanya menjadi contoh bagaimana lahan kawasan kehutanan bisa dikelola masyarakat untuk pangan, agroforestri, hingga hasil hutan non kayu.
Di Jawa Tengah, ada kawasan hutan rakyat di Wonosobo dan Temanggung yang berhasil mengembangkan kopi, sayuran, dan kayu rakyat dalam pola agroforestri. Semua itu menopang ekonomi desa, menjaga tutupan hutan, dan disokong Dinas Kehutanan serta LSM lokal.
Apa yang dilakukan Kahar Kalam di Bontang sebenarnya sejalan. Hanya saja, ia memulai lebih dulu—sendirian, tanpa bendera koperasi, tanpa sorotan.


Mengapa ini penting?
Karena Bontang hingga kini masih bergantung pada pasokan pangan dari luar. Samarinda, Tenggarong, Sangatta, bahkan dari Jawa. Ketika ada pengusaha lokal yang membuka 100 hektare lahan, mempekerjakan petani, mengurus legalitas mereka, hingga menyediakan tempat tinggal dan KTP, mestinya itu tidak sekadar diberi ucapan terima kasih. Tapi dicatat sebagai langkah konkret yang layak ditiru.
“Saya urus semua. Petani dari luar saya datangkan, saya carikan tempat tinggal, saya buatkan legalitas. Mereka kerja di sini, hidup di sini, bantu kota ini,” ujar Pak Kahar. Ia tidak sedang bicara bisnis. “Kalau soal balik modal, jangan ditanya. Jauh. Tapi saya bukan kejar untung. Saya cuma ingin berbuat.”
Nada kecewa terdengar jelas. Tapi tekadnya lebih tebal. “Kalau saya bukan orang Bontang, mungkin saya sudah pergi dari dulu,” katanya. “Tapi ini kota saya. Saya ingin Bontang berdiri di kaki sendiri. Tidak terus bergantung pada luar.”
Kahar tak butuh panggung. Ia hanya ingin pemerintah melihat—bahwa ada yang sudah lebih dulu berbuat. Bukan untuk dirinya. Tapi untuk Bontang.
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.