KOTA SAMARINDA sudah berkali-kali dilanda kebakaran. Bedanya, kali ini bukan pemukiman padat yang terbakar, melainkan Big Mall Samarinda. Mal terbesar di Samarinda bahkan Kaltim, tempat ribuan warga biasa beraktivitas, berbelanja, dan menghabiskan waktu bersama keluarga.
Kebakaran terjadi pada Selasa tengah malam, 3 Juni 2025, sekitar pukul 00.10 WITA. Api dilaporkan muncul dari lantai II hingga III, menyebar cepat, dan menyebabkan asap pekat memenuhi ruangan.
Tujuh korban dilarikan ke rumah sakit akibat gangguan pernapasan. Yang lebih mengkhawatirkan, sistem sprinkler yang seharusnya aktif justru dilaporkan tidak berfungsi.
Syukurlah mal sedang tutup saat kejadian. Tapi bayangkan jika insiden ini terjadi di siang hari saat ribuan orang sedang berada di dalam. Tanpa sistem proteksi kebakaran yang aktif, tanpa evakuasi yang tertata, tragedi bisa jadi lebih besar.
Ya, patut disayangkan dan menambah keresahan warga, minimnya informasi resmi dari manajemen pengelola Big Mall pasca kebakaran. Tak ada penjelasan soal luas area terdampak, kerugian tenant, ataupun upaya tanggung jawab terhadap korban terdampak. Hari ini, warga hanya disuguhi selembar pengumuman tidak resmi seputar penutupan sementara Big Mall yang beredar melalui WhatsApp, tanpa data, tanpa empati.
Pengumumannya berbunyi:
“Sebagai langkah preventif dan demi keselamatan seluruh pengunjung, tenant, serta staf kami, Big Mall akan ditutup sementara waktu selama proses investigasi dan penilaian struktur bangunan berlangsung. Kami akan memberikan informasi lebih lanjut terkait waktu pembukaan kembali setelah proses ini selesai.”
Kalimat ini tentu normatif. Namun bagi warga Samarinda yang ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, pengumuman itu terasa terlalu datar, terlalu formal, dan jauh dari tanggung jawab moral kepada publik.

Lebih jauh, kebakaran Big Mall bukan yang pertama di Kota Tepian. Sepanjang tahun 2025, Kota Samarinda telah mengalami serangkaian peristiwa kebakaran yang menunjukkan tingginya potensi risiko bencana kebakaran di wilayah ini.
Pada 12 Maret 2025 pukul 18.50 WITA, kebakaran terjadi di Pondok Pesantren Nabil Husein, meskipun berskala kecil. Dua pekan kemudian, pada 29 Maret 2025 pukul 23.05 WITA, kebakaran kembali terjadi di salah satu ruas jalan kota.
Lalu pada 15 Mei 2025 pukul 09.45 WITA, api melahap area di Jalan Lumba-lumba, yang berada di kawasan pemukiman padat. Puncaknya terjadi pada 3 Juni 2025 pukul 00.10 WITA, saat kebakaran melanda Big Mall Samarinda.
Kebakaran ini paling mencolok, karena terjadi di bangunan komersial berskala besar yang selama ini dianggap memiliki sistem keselamatan terbaik.
Wali Kota Samarinda, Andi Harun, telah menegaskan bahwa seluruh gedung publik wajib memelihara sistem keselamatan kebakaran, termasuk alat sprinkler dan jalur evakuasi. Bahkan sejak tahun lalu, Pemkot mewajibkan audit berkala untuk fasilitas komersial.
Anggota Komisi I DPRD Samarinda, Adnan Faridhan, juga mengecam minimnya empati dari pihak manajemen mal dan menuntut evaluasi terhadap kelayakan operasional gedung.
Kebakaran ini jadi ujian. Bukan hanya bagi pengelola Big Mall, tapi juga bagi sistem pengawasan dan kepatuhan terhadap regulasi keselamatan di Kota Samarinda.
Samarinda sudah terlalu sering terbakar dan terlalu jarang ada yang benar-benar bertanggung jawab. Bukan permintaan maaf yang dibutuhkan warga, tapi kejelasan dan tindakan nyata agar kejadian serupa tak terulang.
Jika mal sebesar Big Mall saja bisa lalai, bagaimana dengan gedung-gedung lainnya? Samarinda harus belajar. Tapi belajar artinya juga berani menindak.
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.