Setiap kali membuka TikTok, wajah Bang Sarkowi V Zahry selalu muncul di beranda saya. Algoritma rupanya tahu betul siapa yang menarik buat saya.
Dua bulan terakhir, Bang Owi, begitu saya biasa menyapanya, makin aktif menyampaikan isu-isu publik lewat platform itu. Bukan joget, bukan prank, tapi konten serius tentang pemerintahan dan DPRD. Gaya bicaranya ringan. Tapi pesannya sampai.
Saya tidak kaget. Bang Owi adalah salah satu guru jurnalistik saya saat aktif di Kaltim Post. Namun, semangat menulis dan berpihak pada publik pertama kali saya pelajari dari Bang Sumurung Basa Silaban.
Dari beliau, saya mengenal logika tulisan, keberanian menyampaikan kritik, dan pentingnya keberpihakan. Tulisan-tulisannya di Facebook masih jadi referensi saya hingga sekarang. Bang Silaban bukan sekadar wartawan, ia adalah suara publik yang tak pernah lelah.
Bang Owi bukan hanya rekan kerja dalam dunia jurnalistik. Ia juga kakak tingkat saya di Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Saya angkatan 1997. Beliau 1993.
Bahkan inisial gs yang dulu saya pakai di Kaltim Post adalah ide beliau. “Kamu pakai gs saja,” katanya santai di ruang redaksi. Nama itu melekat cukup lama. Kini, di Media Kaltim, saya memilih kembali menulis rutin, namun dengan nama lengkap.
Kini Bang Owi tampil beda. Ia tak hanya menjadi anggota DPRD Kaltim, tapi juga membangun ruang dialog publik lewat podcast. Episode perdananya langsung menghadirkan Ketua DPRD Kaltim, Hasanuddin Mas’ud.
Yang menarik, Bang Hasanuddin juga alumni Kehutanan Unmul, sama seperti kami. Meski saya belum pernah mengenalnya secara dekat—hanya beberapa kali berpapasan di acara alumni, maka melalui podcast itu saya bisa menangkap gaya berpikir dan sikap politiknya. Obrolan mereka cair, tapi isinya padat.
Obrolan dimulai dengan candaan khas Bang Owi yang menyebut dirinya “cupu” dan lawan bicaranya “suhu”. Tapi percakapan mereka segera masuk ke isu-isu serius. Dari gaya kerja Gubernur Kaltim yang dinilai sangat agresif dan melakukan “lompatan-lompatan pembangunan”, hingga sistem rapat setiap Senin dan Rabu yang kini rutin digelar untuk mendorong percepatan.
Bang Hasanuddin juga menyampaikan pentingnya OPD ikut menyesuaikan ritme kerja gubernur, dan perlunya sistem reward and punishment yang jelas.
Topik Gaspol dan GratisPol pun dibahas. Intinya, program sebagus apa pun harus punya dasar hukum yang kuat. Tak cukup hanya pergub, tapi harus ada perda agar bisa berkelanjutan, lintas periode, lintas figur.
Ia juga mengingatkan soal efisiensi fiskal. DBH Kaltim turun Rp2 triliun, dari Rp20 menjadi Rp18 triliun, maka jangan sampai program jadi beban keuangan yang tak akuntabel.
Yang saya garis bawahi: keadilan. Jangan sampai program hanya terasa di kota-kota besar, sementara wilayah 3T tertinggal. Itu bukan cuma soal pemerataan anggaran, tapi soal cara kita menjaga etika dalam pemerintahan.
Saya bersyukur pernah belajar dari Bang Silaban dan Bang Owi. Dua orang yang membuktikan bahwa menyuarakan publik bisa dilakukan lewat berbagai cara. Dari koran hingga Facebook, dari opini hingga podcast. Medianya boleh berganti, caranya bisa berubah, tapi komitmennya tetap: berpihak pada yang seharusnya dibela.
Kini saya menulis bukan lagi dengan inisial gs, tapi dengan nama lengkap.
Oleh: Agus Susanto, SHut, SH, MH