Setiap 29 Mei, kita memperingati Hari Anti Tambang (HATAM). Bukan untuk membenci kemajuan, tetapi untuk mengingatkan bahwa di balik kilauan batu bara dan logam mulia, ada rumah-rumah yang retak, tanah yang longsor, dan nyawa yang perlahan-lahan tenggelam dalam diam.
Batuah adalah gambaran nyata dari luka yang ditinggalkan tambang.
Desa Batuah, yang terletak di Kilometer 19 poros Samarinda–Balikpapan, secara administratif berada di Kutai Kartanegara (Kukar). Namun secara geografis, ia terasa jauh dari jangkauan pusat pemerintahannya di Tenggarong. Terlalu jauh untuk didengar, terlalu dekat untuk ditambang.

Pada 10 Maret 2025, potret getir itu mencuat ke publik. Akun Facebook Nina Iskandar mengunggah kondisi rumah-rumah warga RT 06, Loa Janan, yang retak, miring, bahkan nyaris roboh.
Tanah bergeser. Sumur mengering. Debu dan suara alat berat menggantikan bunyi jangkrik malam. Semua akibat tambang batu bara PT Karya Putra Borneo (KPB), yang beroperasi hanya sekitar 50 meter dari rumah warga.
Hanya dua hari setelah unggahan itu, pada 12 Maret 2025, Komisi I DPRD Kukar melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke lokasi. Kehadiran wakil rakyat ini memberi secercah harapan bagi warga Batuah, khususnya di RT 06 KM 19 Loa Janan.
Dalam sidak itu, manajemen perusahaan turut dihadirkan di tengah-tengah warga.
Dalam pertemuan tersebut, Nina mewakili warga menyampaikan tuntutannya. Apa pun solusinya, warga menginginkan kepastian—apakah tetap tinggal atau harus pindah, yang terpenting adalah jaminan rasa aman.
Jika memang harus pindah, mereka meminta relokasi yang layak dan ganti rugi sesuai dengan harga wajar. Selain itu, warga juga berharap adanya dukungan dari DPRD dalam merumuskan nilai rumah dan mempercepat proses pembebasan lahan.
Bahkan, sebagai bentuk empati, warga mengajak DPRD untuk tinggal sementara di Batuah agar bisa merasakan langsung goncangan dan kebisingan yang selama ini mereka alami.

Dalam unggahan itu, pihak manajemen perusahaan menyatakan kesiapan untuk bertanggung jawab. Mereka menyebut akan mengikuti aturan yang berlaku, berkoordinasi dengan pihak terkait, dan menunggu hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) berikutnya. “Kami tidak lari. Kami siap bertanggung jawab,” tegas perwakilan manajemen.
Jarak operasi tambang itu jelas melanggar aturan. Dalam Lampiran II Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2012, jarak minimal tambang dari permukiman adalah 500 meter. Tapi di Batuah, batas itu seolah dihapus. Yang tersisa adalah kolam bekas tambang dan retakan-retakan permanen di tanah, di rumah, dan di batin warganya.
Kepada Media Kaltim, Kepala Desa Batuah, Abdul Rasyid, mencatat 60 rumah terdampak langsung. Appraisal memang sempat dilakukan perusahaan, tapi belum membuahkan solusi. Warga menuntut pembebasan total dan harga pasar, sementara perusahaan hanya mau menilai bangunan yang rusak saja.
Berdasarkan data Dinas ESDM Kaltim, hingga 2024 terdapat lebih dari 300 Izin Usaha Pertambangan (IUP) aktif di Kutai Kartanegara. Terbanyak di Kaltim. Tapi sebanyak apa pun izin, tanpa pengawasan yang kuat, hasilnya adalah penderitaan.

Batuah dulu dikenal sebagai penghasil merica dan sawit. Kini hanya menyisakan debu tambang, suara ekskavator, dan air sumur yang keruh. Kawasan yang pernah digadang sebagai lumbung pangan Kukar justru berubah menjadi lumbung luka.
Sudah lebih dari dua tahun warga bersuara—baik lewat media sosial maupun forum resmi seperti RDP di DPRD Kukar. Namun, belum ada solusinya. “Kami hanya minta kepastian: kalau memang harus pindah, tolong bantu relokasi yang layak,” kata seorang warga Batuah.
Permintaan yang sederhana. Tapi di negara yang kadang sibuk mengurus megaproyek, kesederhanaan bisa jadi terlalu mahal.
Hari Anti Tambang bukan tentang menolak semua bentuk tambang. Ini soal keadilan ekologis, hak atas rasa aman, dan kewajiban negara melindungi warganya dari kerusakan struktural dan sosial.
Ini menjadi peringatan bahwa negara harus berdiri di sisi rakyat, bukan bertekuk lutut di hadapan kekuatan modal yang mengabaikan hak asasi.
Pemerintah daerah, provinsi, hingga pusat harus hadir. Bukan hanya sebagai penengah, tapi juga sebagai pembela.
PT KPB tidak hanya punya tanggung jawab finansial, tetapi juga moral. Ini bukan sekadar ganti rugi bangunan, tapi pemulihan kehidupan yang layak.
Jika permintaan untuk hidup tanpa retakan dianggap terlalu muluk, maka yang benar-benar retak bukan hanya rumah warga, tetapi komitmen negara terhadap rakyat kecilnya. (*)
Oleh Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.