PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) No. 3/PUU-XXIII/2025 mewajibkan negara menjamin pendidikan dasar sembilan tahun secara gratis, baik di sekolah negeri maupun swasta. Ini langkah progresif dalam menjamin hak konstitusional warga negara. Namun, implementasinya jadi tantangan besar, terutama karena beban fiskal ditanggung pemerintah kabupaten/kota.
Sebagai konsekuensi logis dari otonomi daerah, pendidikan dasar menjadi urusan wajib yang harus dibiayai pemerintah daerah. Maka, ketika MK memutuskan agar pendidikan dasar digratiskan tanpa pungutan, yang paling terdampak adalah struktur anggaran belanja pendidikan di tingkat lokal.
Lantas, sejauh mana kesiapan fiskal daerah, khususnya di Kaltim, untuk melaksanakan mandat ini?
Berdasarkan data resmi dari djpk.kemenkeu.go.id, hingga 28 Mei 2025, sebagian besar kabupaten/kota di Kaltim mencatat realisasi belanja daerah yang masih relatif rendah. Dari 10 daerah yang ditelusuri:
- Penajam Paser Utara (PPU) menjadi yang tertinggi dengan realisasi 36,39%, disusul Kutai Barat (32,92%) dan Samarinda (30,78%).
- Berau juga cukup tinggi di angka 30,42%.
- Kutai Kartanegara mencatat belanja tertinggi (Rp3,95 triliun), namun data anggaran pagu belum tersedia, sehingga sulit menilai persentasenya secara akurat.
- Balikpapan menjadi yang terendah dengan hanya 3,98%, dan Bontang sebesar 11,49%.
- Daerah lainnya seperti Kutai Timur, Mahakam Ulu, dan Paser berada di rentang 14–16%.
Artinya, sebagian besar daerah belum menyalurkan anggaran belanjanya secara optimal menjelang pertengahan tahun anggaran. Tentu saja ini menimbulkan kekhawatiran, terutama untuk program-program yang bersifat wajib dan menyentuh langsung kebutuhan masyarakat, seperti pendidikan dasar.
SEKOLAH SWASTA BELUM MASUK PETA PRIORITAS
Di banyak kabupaten/kota di Kaltim, sekolah swasta justru berperan sebagai penyangga sistem pendidikan, terutama di daerah padat penduduk atau wilayah tanpa sekolah negeri. Namun, berdasarkan komposisi belanja, alokasi untuk sekolah swasta belum terlihat sebagai prioritas.
Setidaknya, dalam struktur anggaran, kalaupun dialokasikan, masuk dalam komponen belanja bantuan sosial dan hibah. Sementara realisasinya masih rendah.
- Bontang, dari belanja hibah Rp81,24 miliar, baru terserap Rp14 miliar (17,4%).
- Samarinda, belanja bantuan sosial baru terserap Rp10,3 miliar dari pagu Rp40 miliar (25,75%).
- Balikpapan, hampir seluruh komponen belanja non-pegawai belum berjalan.
Dalam konteks ini, pernyataan Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian sangat relevan. Ia menegaskan perlunya revisi mekanisme BOS agar mencakup sekolah swasta secara menyeluruh dan adil, sekaligus menekankan pentingnya transparansi serta tata kelola dana pendidikan yang matang.
Sementara pemerintah pusat sendiri belum menetapkan langkah teknis atas putusan MK ini. Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamendikdasmen) Fajar Riza Ul Haq menyatakan bahwa pihaknya masih mengkaji putusan MK secara internal dan belum menerima salinan resmi dari Mahkamah Konstitusi.
“Salinan resminya belum kami terima. Yang beredar baru kutipan di media dan media sosial,” jelas Fajar di Jakarta, Rabu (28/5/2025).
Fajar juga menegaskan bahwa pendidikan dasar adalah urusan pemerintahan konkuren, bukan kewenangan absolut pemerintah pusat. Oleh karena itu, keterlibatan pemerintah daerah menjadi mutlak dalam pelaksanaannya.
“Urusan pendidikan bukan kewenangan absolut pemerintah pusat. SD dan SMP menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, baik kota maupun kabupaten,” imbuhnya.
Pemerintah pusat, lanjut Fajar, tengah melakukan kajian yang akan melibatkan berbagai pihak, termasuk asosiasi sekolah dan kementerian/lembaga lain. Ia menyatakan bahwa pihaknya akan menunggu arahan Presiden Prabowo Subianto sebelum merumuskan kebijakan resmi.
“Kami sedang dalam proses pengkajian internal. Tentu juga kita akan menunggu arahan Bapak Presiden mengenai hal ini.”
Terkait implementasi dalam Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB), Fajar mengaku belum bisa berkomentar banyak. Namun ia mengakui tantangan terbesar adalah di aspek teknis dan anggaran, terutama untuk sekolah swasta.

ANTARA KEWAJIBAN KONSTITUSI DAN KAPASITAS FISKAL
Putusan MK telah menegaskan bahwa negara tidak bisa lagi membedakan tanggung jawab pendidikan dasar berdasarkan status negeri atau swasta. Namun, dalam implementasinya, terdapat perbedaan nyata antara semangat konstitusi dan kapasitas fiskal di lapangan.
Menurut Perhimpunan Pendidik dan Guru (P2G), penggratisan sekolah harus dilakukan bertahap dan selektif, mengingat tidak semua sekolah swasta menerima BOS, dan banyak di antaranya menggaji guru dengan standar di bawah UMR.
Tanpa peta jalan yang jelas dan tambahan dana dari pusat, beban ini bisa membuat APBD kabupaten/kota “tersedak”, karena harus membiayai satuan pendidikan yang selama ini berada di luar cakupan fiskal rutin.
Pendidikan gratis adalah amanat UUD 1945. Tapi untuk menjadikannya kenyataan, pemerintah daerah harus berani melakukan reprioritisasi anggaran dan memperkuat koordinasi dengan pusat.
Untuk menjadikan pendidikan gratis sebagai kenyataan, bukan sekadar janji konstitusi, pemerintah daerah harus berani melakukan refocusing anggaran pendidikan berbasis kebutuhan nyata satuan pendidikan dasar, termasuk sekolah swasta.
Selain itu, diperlukan skema BOS Plus yang lebih adil secara fiskal agar sekolah swasta yang selama ini tidak tersentuh bantuan operasional juga dapat menjalankan fungsinya dengan layak. Sinkronisasi data satuan pendidikan antara pemerintah pusat dan daerah menjadi krusial agar perencanaan dan alokasi anggaran lebih tepat sasaran.
Tak kalah penting, pengawasan publik terhadap realisasi serta output belanja pendidikan harus diperkuat agar anggaran benar-benar memberikan dampak langsung bagi kualitas pendidikan warga.
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.
Sumber data: djpk.kemenkeu.go.id, diakses per 28 Mei 2025