Jumat, Juli 11, 2025
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Dua Tahun Menanti, Dua Kali Gagal: Kisah Pahit Calon Haji Furoda asal Kaltim

HAJI adalah panggilan suci. Namun, tidak semua panggilan bisa dijemput hanya dengan uang. Itulah kenyataan yang dirasakan ribuan calon jemaah haji furoda tahun ini. Pemerintah Arab Saudi memastikan tidak menerbitkan visa mujamalah pada musim haji 2025. Jalur yang selama ini dianggap sebagai jalan pintas justru memunculkan kegaduhan baru.

Di berbagai daerah di Indonesia, gelombang kekecewaan merebak. Di Jawa Timur saja, lebih dari 1.200 calon jemaah gagal berangkat. Di Solo, 300 orang bernasib sama. Di Semarang, 37 jemaah dari satu biro tak jadi berangkat.

Di Jambi, 35 orang batal. Tak terkecuali di Kaltim, sejumlah jemaah dari Balikpapan dan Kutai Timur juga gagal berangkat, bahkan ada yang meninggal dalam kondisi menanti kepastian visa.

Banyak jemaah telah menyetor dana ratusan juta rupiah. Ada yang bahkan sudah berada di Jakarta, memegang tiket pesawat dan reservasi hotel bintang lima, berharap visa turun di detik terakhir. Namun, hingga batas waktu yang ditentukan, visa furoda tak kunjung keluar. Harapan pupus, agen travel kelimpungan, dan jemaah terjebak dalam ketidakpastian.

Ketua Komnas Haji, Mustolih Siradj, menegaskan bahwa visa furoda merupakan tanggung jawab agen perjalanan atau PIHK, bukan pemerintah. Sesuai UU Nomor 8 Tahun 2019, pemerintah hanya bertanggung jawab atas visa dari kuota resmi. “Penggunaan haji furoda menjadi urusan bisnis murni antara travel dengan jemaahnya,” tegas Mustolih kepada wartawan.

Saya bersama istri saat umrah di Masjidil Haram, Februari 2025. Refleksi bahwa haji bukan soal dana, tapi panggilan Ilahi.

Haji furoda adalah jalur undangan langsung dari Pemerintah Arab Saudi (visa mujamalah). Legal, namun hanya dapat dijalankan oleh PIHK berizin resmi yang juga wajib melaporkan data jemaah ke Kemenag. Jika tidak, sanksi administratif dapat dijatuhkan: teguran, penghentian kegiatan, hingga pencabutan izin.

Saya baru saja mendengar langsung kisah Abduh Kuddu—Redaktur Pelaksana Media Kaltim. Abduh yang juga pengusaha asal Balikpapan ini berbagi cerita getirnya dalam program haji furoda. Ia sudah mendaftar sejak 2022, menyetor uang muka ribuan dolar AS, lalu melunasi hingga USD 19.000.

Namun, dua tahun berturut-turut ia gagal berangkat. Tahun 2022 terkendala pandemi Covid-19. Tahun berikutnya lebih menyakitkan: travel yang sama lebih mengutamakan jemaah baru dengan “uang segar”, sementara Abduh yang lebih dulu melunasi justru terabaikan.

Ketika visa tak keluar, Abduh pasrah. Padahal, ia sudah berada di Jakarta, bahkan sempat berpindah-pindah hotel. Ia bersyukur pihak travel masih berjanji mengembalikan dananya, meski harus dicicil dan jumlahnya tidak seberapa.

Ironisnya, saat itu banyak visa justru dijual secara spekulatif dan diskriminatif. Yang membayar lebih mahal bisa diberangkatkan, sementara yang lebih dulu melunasi justru dipinggirkan.

Setelah dua tahun kecewa, Abduh memutuskan mendaftar ulang ke travel lain dan membayar dengan uang segar. Ia tak mau ambil risiko dengan travel sebelumnya. Ia memilih travel  Bin Dawood, yang memiliki reputasi baik.

PENGAWASAN KETAT, PERTARUHAN NYAWA
Pada 2024, Abduh akhirnya berangkat. Ia menunaikan ibadah haji bersama sang istri melalui jalur furoda dengan travel resmi yang kredibel. Ia menyaksikan sendiri betapa ketatnya pengawasan visa furoda saat itu. Di bandara, setiap jemaah harus melalui pemeriksaan barcode secara langsung oleh petugas Kedutaan Besar Arab Saudi. Setiap bus jemaah dikawal ketat oleh aparat bersenjata.

Jika ditemukan visa yang tidak valid, jemaah langsung ditolak untuk masuk ke Tanah Suci. Tak ada kompromi. Pemerintah Arab Saudi sangat serius menutup segala bentuk penyalahgunaan visa, termasuk penggunaan visa non-haji seperti visa tenaga kerja atau ekspatriat.

“Saya lihat sendiri bagaimana mereka menolak langsung jemaah yang tidak terdata resmi. Jadi memang ketat sekali. Kalau tidak resmi, tidak akan bisa masuk,” cerita Abduh.

Selama 19 hari ibadah, Abduh merasa segala kelelahan dan kerugian sebelumnya terbayar lunas. Maktabnya dekat dengan jalur lempar jumrah, hotelnya nyaman, dan pelayanan sangat tertib.

Ia juga menceritakan bahwa saat itu ia satu hotel dengan sejumlah tokoh nasional seperti Raffi Ahmad, Ahmad Muzani, Andre Rosiade, hingga Nusron Wahid—yang kini menjabat sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

Namun, dikatakannya, musim haji 2024 juga menjadi salah satu yang paling berat. Suhu ekstrem membuat banyak jemaah kelelahan. Abduh menyaksikan langsung banyak jemaah, terutama dari Mesir, yang meninggal dunia karena tidak kuat menahan panas dan aktivitas berat.

Ribuan jemaah larut dalam kekhusyukan mengelilingi Ka’bah. 

SLOT REGULER DIBISNISKAN
Dua hari lalu, Abduh kembali mendapat kabar mengejutkan. Temannya yang juga gagal mendapatkan visa furoda ditawari tetap bisa berangkat. Syaratnya: menggunakan “slot reguler”, membayar USD 30.000, durasi haji 40 hari, hotel bintang tiga. Slot ini disebut berasal dari jemaah yang meninggal, gagal bayar, atau ahli waris yang batal berangkat.

Temannya akan digabungkan dengan rombongan jemaah reguler yang sebagian besar lansia. Lebih parah lagi, travel menawarkan skema pemotongan dari dana Abduh yang masih tertahan sebagai bagian dari “penyelesaian utang”.

“Aku ditawari akan dipotong utang. Last minute, pihak travel meminta ditawarkan ke temanku untuk pakai slot reguler. Katanya mereka punya rekanan di Kemenag. Nah, praktik seperti ini mengecewakan dan merusak kepercayaan jemaah. Harusnya slot itu untuk yang benar-benar berhak. Tapi malah dijual. Ini jalur haram. Saya tidak mau korbankan teman,” ujar Abduh.

Ia menolak tawaran itu. Bukan karena tidak mampu, tetapi karena ia tahu betul, itu bukan jalan yang layak ditempuh. Apalagi temannya—meski bukan lansia—akan digabungkan dengan jemaah reguler yang sebagian besar merupakan lansia dan membutuhkan penanganan khusus. Fasilitasnya pun terbatas, tidak sebanding dengan biaya besar yang diminta.

“Ini gila. Jalur resmi saja diperjualbelikan. Dan ini dijadikan komoditas oleh oknum,” lanjutnya.

HATI-HATI MEMILIH PIHK
Furoda memang menawarkan kemewahan: durasi singkat 16–24 hari, fasilitas premium, hotel dekat Masjidil Haram, dan layanan VIP di Mina. Tapi risikonya besar. Biaya pun tak murah—tahun 2025 ini kabarnya berkisar antara Rp400 juta hingga Rp800 juta per orang. Tergantung fasilitasnya. Jika visa tak terbit, kerugian travel bisa miliaran rupiah, dan trauma jemaah tidak ternilai.

Saya juga mendapat kabar, dari ribuan calon jemaah furoda tahun ini, sebagian di antaranya adalah pejabat dari Kaltim. Ada yang dari Bontang, Samarinda, maupun Balikpapan. Mereka saat ini gagal berangkat dan masih berada di Jakarta.

Di pemberitaan media lokal juga menyebutkan seorang jemaah dari Kutai Timur wafat saat menanti kepastian keberangkatan. Di Balikpapan, warga bernama Iqram harus menelan pil pahit karena visa tak kunjung terbit, padahal semua persiapan telah rampung.

Banyak biro perjalanan pun mengalami kerugian. Di Semarang, satu agen mencatat kerugian hingga Rp5 miliar. Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah (AMPHURI) menyebut kerugian per biro bisa mencapai Rp2 miliar per kelompok 50 jemaah.

Kisah Abduh Kuddu adalah pelajaran penting. Haji furoda memang menggoda, tetapi harus disikapi dengan bijak. Banyak yang berhasil berangkat, tetapi lebih banyak lagi yang diam-diam kecewa. Apalagi, sebagian besar dari mereka sudah menggelar syukuran sebelum berangkat haji.

Pemerintah harus mengevaluasi ulang mekanisme furoda. Bukan untuk dihapus, tetapi untuk diperketat pengawasannya. Diplomasi dengan Arab Saudi harus lebih aktif. Tidak bisa lagi menunggu kepastian visa di menit-menit terakhir.

Dan bagi masyarakat, berhati-hatilah memilih PIHK. Pastikan punya izin resmi, rekam jejak baik, dan transparan dalam kontrak. Jangan tergiur janji manis yang belum pasti ditepati.

Karena pada akhirnya, haji bukan hanya soal dana, melainkan soal takdir dan keikhlasan. (*)

Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.

⚠️ Peringatan Plagiarisme

Dilarang mengutip, menyalin, atau memperbanyak isi berita maupun foto dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari Redaksi. Pelanggaran terhadap hak cipta dapat dikenakan sanksi sesuai UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dengan ancaman pidana penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda hingga Rp4 miliar.

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img