Senin, Juli 7, 2025
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Iran–Israel di Era Medsos: Perang yang Viral, Dunia yang Bungkam

Sampai hari ini, perang Iran–Israel tak lagi sekadar terjadi di medan tempur. Yang membedakannya dari konflik sebelumnya: miliaran orang kini bisa menyaksikan ledakan dan kehancuran langsung dari layar ponsel. Video rudal beterbangan, rumah sakit dihantam, langit menyala di malam hari. Semuanya berseliweran di media sosial. FYP. Viral. Tanpa sensor. Tanpa batas. Diklik, dibagikan, ditonton ulang.

Publik bebas memilih simpati. Di Twitter, Instagram, atau TikTok. Ada yang mendukung Iran karena melihat ini sebagai pembalasan atas pembantaian di Gaza. Ada pula yang membela Israel, menyebut Iran sebagai ancaman kawasan. Narasi bercampur hoaks. Simpati bersaing dengan propaganda. Yang tak bisa terbantahkan: ini bukan lagi perang senyap. Ini konfrontasi terbuka yang ditonton dunia, nyaris tanpa jeda, nyaris tanpa nalar.

Konflik ini tak lagi berada di balik layar diplomasi atau melalui tangan kelompok proksi. Apa yang terjadi dalam sepekan terakhir adalah perang langsung yang menghantam jantung sipil dan infrastruktur strategis dua negara besar di Timur Tengah. Jumlah korban terus bertambah. Rudal hipersonik dan jet tempur melintas bebas. Dunia menyaksikan, dengan tegang, salah satu konfrontasi paling brutal sejak Perang Teluk.

Teranyar, pada 19 Juni 2025, Iran meluncurkan Operasi True Promise III. Bukan sekadar balasan, ini pernyataan eksistensi. Lebih dari seribu drone dan empat ratus rudal balistik, termasuk rudal hipersonik Fattah‑1 ditembakkan ke Israel. Targetnya pangkalan militer. Namun dampaknya juga berimbas ke rumah sakit.

Soroka Medical Center di Beersheba menjadi salah satu korban terparah. Rudal menghantam langsung gedung utama, melukai lebih dari dua ratus orang. Di Tel Aviv, sejumlah kompleks apartemen hancur. Sedikitnya dua puluh empat warga sipil tewas.

Israel merespons dalam tiga gelombang serangan udara. Jet tempur F-35 dan F-16 diberangkatkan dari berbagai pangkalan untuk menghantam fasilitas nuklir dan militer Iran di Arak, Natanz, Fordow, Bushehr, dan Parchin. Situs Fordow mengalami kerusakan parah. Sistem listrik Iran padam. Jumlah korban mencapai lebih dari 639 orang, termasuk 263 warga sipil. Suara ledakan dan sistem pertahanan udara menggema di langit Teheran. Media Iran mencatat, sejak serangan Israel pada 13 Juni, korban tewas sudah mencapai 224 orang, termasuk sejumlah petinggi militer.

Permusuhan ini membuka babak baru, yang belum pernah muncul seterang ini sejak Revolusi Islam 1979. Relasi yang retak semakin memburuk. Berbanding terbalik dengan masa 1950-an ketika Iran dan Israel pernah menjalin kerja sama strategis di bawah Shah Mohammad Reza Pahlavi.

Di tengah serangan saling balas, diplomasi global justru melemah. Yang muncul adalah retorika ancaman. PM Israel Benjamin Netanyahu menyebut Iran telah melewati garis merah dan berjanji akan menarik harga penuh. Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, menyamakan Ayatollah Khamenei dengan Hitler modern. Dari Teheran, Ayatollah Khamenei menyebut Israel sebagai “tumor yang harus dicabut.” Komandan Garda Revolusi Iran, Hossein Salami, memperingatkan bahwa Fattah‑1 baru awal.

Presiden AS Donald Trump menegaskan sedang mempertimbangkan semua opsi, termasuk penggunaan bunker-buster untuk menghancurkan situs nuklir bawah tanah Iran. “Kami akan putuskan dalam dua minggu,” katanya di berbagai pemberitaan media.

Ketegangan meningkat cepat. Inggris dan Jerman menyerukan de-eskalasi. Rusia memperingatkan bahwa keterlibatan NATO bisa memicu perang besar. China menyatakan siap menjadi mediator. Arab Saudi menolak wilayahnya dijadikan basis serangan atau balasan. Semua paham: satu kesalahan bisa membakar kawasan.

Di tengah eskalasi itu, Kementerian Luar Negeri RI memastikan 42 WNI peziarah di Yerusalem telah dipulangkan lewat Yordania, dan dua WNI dari Iran berhasil keluar melalui Pakistan. Sebanyak 386 WNI di Iran dan 194 WNI di Israel dalam kondisi aman. Kemlu juga mengimbau masyarakat untuk menunda perjalanan ke negara-negara rawan konflik. Perwakilan RI di Amman dan Teheran terus bersiaga. Sejumlah negara Asia seperti China, India, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, dan Thailand juga menarik warganya.

Duta Besar Iran untuk Indonesia, Mohammad Boroujerdi, berharap Indonesia terus mendukung Iran di forum internasional. Ia mengapresiasi sikap keras pemerintah Indonesia terhadap agresi Israel, serta solidaritas dari tokoh politik dan organisasi Islam dalam negeri.

Namun lebih dari dukungan politik, perang ini telah menjelma menjadi pertarungan karakter. Dua kutub dunia saling menunjukkan wataknya. Israel ingin memberi pesan bahwa serangan ke wilayahnya tak akan dibiarkan. Iran ingin menegaskan bahwa tekanan global tak akan menggoyahkan harga diri. Tapi di balik jargon geopolitik, yang hancur adalah rumah sakit, sekolah, dan warga sipil. Yang lenyap adalah nyawa manusia. Bukan doktrin.

Bagi Indonesia dan Kaltim yang sedang menata masa depan di Ibu Kota Nusantara, perang ini menyadarkan kita bahwa menjaga damai butuh keberanian dan ketegasan. Kita harus tegas berpihak pada kemanusiaan.

Menolak segala bentuk kekerasan terhadap warga sipil, siapa pun pelakunya. Netral bukan berarti diam. Indonesia perlu bersuara lebih keras di forum internasional, mendorong gencatan senjata dan jalur damai.

Sebagai rakyat, kita pun punya peran. Tetap jernih. Jangan hanyut dalam fanatisme atau disinformasi. Kuatkan literasi, kuatkan empati, dan jangan ikut menyebar hoaks. Karena di tengah dunia yang gaduh, sikap paling penting adalah tetap waras, tetap berprinsip, dan tetap manusiawi.

Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.

⚠️ Peringatan Plagiarisme

Dilarang mengutip, menyalin, atau memperbanyak isi berita maupun foto dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari Redaksi. Pelanggaran terhadap hak cipta dapat dikenakan sanksi sesuai UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dengan ancaman pidana penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda hingga Rp4 miliar.

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img