Setelah menulis soal podcast Bang Sarkowi V Zahry bersama Ketua DPRD Kaltim Hasanuddin Mas’ud, saya langsung menghubungi Bang Owi, begitu saya biasa memanggilnya. Sabtu siang, 28 Juni 2025, kami berbincang lewat telepon. Ia bercerita tentang aktivitas barunya: rutin mengunggah konten ke TikTok dan Instagram, langsung dari lapangan.
Bang Owi merendah. “Podcast saya ini beda. Saya sesuaikan saat di lapangan. Bukan seperti media,” katanya. Tapi justru di situlah kekuatannya. Tanpa studio, tanpa gimmick, tapi menyentuh persoalan nyata yang sering luput dari sorotan.
Di sela obrolan itu, Bang Owi menyarankan agar saya menuliskan ulang bincangnya dengan Daniele Kreb, peneliti dari Yayasan Konservasi RASI, tentang pesut Mahakam dan kondisi Sungai Mahakam. “Isunya penting, tapi sering diabaikan,” ucapnya.
Dalam video di tiktok yang disebut Bang Owi potret lingkungan Kaltim tersebut, Daniele memaparkan fakta-fakta lapangan yang mencemaskan. Dari hasil uji kualitas air yang dilakukan RASI, hampir semua titik di aliran Sungai Mahakam kini tercemar logam berat seperti tembaga dan timbal. Dari 14 titik sampel, hanya satu yang masih aman: Sungai Boloan di Kedang Pau.
Logam-logam ini berasal dari aktivitas manusia: cat pelindung kapal, tambang, dan kebun sawit. Racun ini tidak hanya membahayakan pesut, tetapi juga masyarakat yang mengonsumsi ikan sungai.
“Logam berat tidak bisa keluar dari tubuh. Kalau ibu hamil mengonsumsinya, bisa berdampak pada janin,” kata Daniele.
Ia menyebut ada dua kasus bayi lahir mati dengan kelainan organ yang diduga akibat paparan logam berat.
Sepanjang 2024, lima pesut ditemukan mati. Empat di antaranya mengandung toksin di atas ambang batas. Ada yang mati karena usia tua, tapi ada juga yang hatinya rusak parah akibat akumulasi racun.
Sejak 1995, Daniele dan timnya memantau populasi pesut Mahakam. Kini tersisa hanya 70–80 ekor. Sebagian besar berada di kawasan Muara Kaman, Kota Bangun, Muara Wis, dan Muara Muntai—wilayah yang kini diusulkan sebagai zona konservasi seluas 43.117 hektare.

RASI tidak berhenti pada riset. Mereka juga melakukan tindakan nyata: memasang pinger (alat sonar pengusir pesut) di jaring nelayan agar pesut tidak terjerat, memantau suara bawah air, dan mengadvokasi zonasi konservasi. Tapi semua itu percuma tanpa dukungan kebijakan dan penegakan aturan.
“Seharusnya kapal tongkang dibatasi masuk ke anak sungai. Ada aturan dari Dishub—lebar kapal maksimal sepertiga dari lebar sungai—tapi sering dilanggar,” ujar Daniele. Ia juga menyoroti lemahnya pengawasan kualitas air yang hanya fokus pada COD dan TSS, padahal logam berat jauh lebih berbahaya.
Dalam situasi seperti ini, kontribusi Bang Owi jadi penting. Saat banyak politisi sibuk dengan baliho dan billboard, ia justru bicara soal ekologi. Tidak dengan jargon, tapi dengan rekaman sederhana yang mengajak orang berpikir.
Saya mengenal Bang Owi bukan cuma sebagai politisi, tapi sebagai orang yang paham betul arti penting menyuarakan hal-hal yang sering luput dari perhatian. Ia tahu kapan harus bicara, dan tahu apa yang layak disuarakan.
Dari ruang kerja, dari jalanan, atau dari tepian sungai, ia gunakan semua medium untuk menyampaikan pesan.
Di tengah riuhnya suara, yang membedakan adalah kejelasan sikap. Bang Owi menunjukkan, berpihak pada lingkungan adalah pilihan yang nyata, bukan sekadar wacana. (*)
Oleh Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.