JAKARTA — Mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, menyampaikan bahwa masyarakat Indonesia cenderung lebih menyukai gula lokal yang berwarna kekuningan dan memiliki butiran kasar.
Hal itu diungkapkan dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi impor gula yang menjeratnya, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (21/4/2025).
Dalam persidangan tersebut, Tom melontarkan pertanyaan kepada Wahyu Kuncoro, mantan Deputi Bidang Usaha Industri Agro dan Farmasi Kementerian BUMN periode 2015–2016, mengenai karakteristik khas gula konsumsi di Indonesia.
“Apakah benar bahwa gula konsumsi Indonesia memiliki karakteristik unik, lebih kuning dan butirannya lebih besar dibandingkan standar internasional?” tanya Tom.
Wahyu membenarkan bahwa gula produksi pabrik-pabrik milik BUMN memang memiliki warna lebih kuning dibandingkan gula rafinasi. Ia menjelaskan, hal itu disebabkan oleh proses pemutihan yang masih menggunakan sulfur.
“Teknologinya masih pakai sulfur untuk memutihkan gula. Sementara kalau di luar pabrik-pabrik yang teknologinya maju itu menggunakan karbonasi,” terang Wahyu.
Ia juga menambahkan bahwa banyak pabrik gula BUMN masih menggunakan mesin-mesin lama peninggalan era kolonial, sehingga kualitas output berbeda dari produk impor.
“Intinya pabrik gula kami yang di BUMN itu memang outputnya, gulanya itu memang tidak sebagus gula yang diolah di pabrik rafinasi. Satu karena pabriknya tua, kemudian dua teknologinya sudah teknologi tingkatan zaman Belanda, cuman kami ini mengolah tebu rakyat, jadi tadi kristalnya lebih besar, warnanya lebih kuning” jelas Wahyu.
Meski kualitasnya dianggap di bawah standar gula rafinasi, gula lokal tetap memiliki pasar yang kuat. Hal ini lantaran produksi gula nasional tidak mampu memenuhi kebutuhan domestik.
“Gula lokal selalu habis terjual karena produksinya hanya 1,6 juta ton, sementara kebutuhan mencapai 3 juta ton. Jadi, apa pun jenisnya tetap diserap pasar,” ujarnya.
Tom Lembong kemudian menanggapi bahwa preferensi konsumen Indonesia terhadap gula lokal bisa jadi dipengaruhi oleh persepsi bahwa gula kuning lebih manis.
“Di mana konsumen Indonesia sukanya gula pasir yang butirnya memang besar, kasar, dan lebih kuning?” tanyanya.
Wahyu menjawab, meski belum ada kajian ilmiah mengenai hal tersebut, persepsi tersebut memang berkembang di masyarakat.
“Belum ada penjelasan ilmiahnya, tapi paling tidak masyarakat itu memahami yang kuning itu lebih manis,” ujar Wahyu.
“Betul, kami juga dengar begitu,” sahut Tom menyetujui.
Tom juga menyoroti keunikan gula konsumsi di Indonesia yang diolah oleh pabrik-pabrik BUMN.
“Berarti gula putih, gula kristal putih yang dikonsumsi di Indonesia boleh dibilang cukup unik. Hanya Indonesia yang produksi dan hanya pabrik gula BUMN yang memproduksi?”
Wahyu tidak menjawab secara pasti, namun kembali menekankan bahwa kondisi pabrik dan bahan baku lokal turut memengaruhi kualitas produk yang dihasilkan.
Sekadar diketahui, dalam dugaan kasus korupsi impor gula, Tom Lembong didakwa merugikan negara hingga Rp 578 miliar dalam perkara penerbitan izin impor gula kristal mentah kepada 10 perusahaan swasta tanpa persetujuan dari Kementerian Perindustrian, dalam periode 2015–2016. Ia juga disebut telah memperkaya pihak lain dalam proses tersebut.
Pewarta : M Adi Fajri
Editor : Nicha R