TENGGARONG – Di bawah langit pagi yang mendung, nuansa sakral terasa menyelimuti tepian anak Sungai Tenggarong. Tepat di lokasi pembangunan jembatan pendamping Jembatan Besi, prosesi adat Tepong Tawar yang menandakan dimulainya proyek pembangunan jembatan baru yang masih belun diberi nama tersebut, pada Senin (21/4/2025).
Ritual ini bukan sekadar pembuka proyek infrastruktur, melainkan pertemuan antara modernisasi dan nilai adat istiadat. Dipimpin langsung oleh Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, Aji Muhammad Arifin, prosesi itu turut dihadiri Bupati Kutai Kartanegara, Edi Damansyah, serta tokoh masyarakat dan jajaran pemerintah daerah.
Dengan langkah penuh wibawa, Sultan Aji Muhammad Arifin menyiramkan air bunga ke atas batu pertama yang dibentangkan di atas kain kuning. Tindakan itu disertai taburan beras bertih, kunyit, dan beras putih. Merupakan elemen inti dalam tradisi tepong tawar yang melambangkan keselamatan, keberkahan, dan harapan akan kelancaran.
“Pembangunan boleh modern, tapi jangan sampai memutus akar nilai yang jadi jati diri kita. Tepong tawar ini bukan upacara kosong, ini falsafah hidup yang diturunkan dari generasi ke generasi,” tutur Sultan Aji Muhammad Arifin.
Jembatan pendamping yang akan dibangun ini berada hanya sekitar 100 meter dari Jembatan Besi, yang merupakan infrastruktur ikonik yang telah menghubungkan dua sisi Tenggarong sejak era kolonial. Usianya mendekati seabad, dan kini tercatat sebagai cagar budaya yang dilindungi.
Bupati Edi Damansyah menegaskan bahwa proyek jembatan baru ini dirancang bukan untuk menggantikan nilai sejarah, melainkan mengakomodasi kebutuhan mobilitas masyarakat yang terus tumbuh, tanpa melupakan warisan kota.
“Grand design pengembangan Kota Tenggarong telah memperhitungkan aspek budaya, ruang terbuka hijau, dan kawasan adat. Kita tidak bisa membangun kota hanya dengan semen dan besi. Identitas masyarakat harus tetap jadi prioritas,” tegas Edi Damansyah.
Ia juga memberi penekanan penting kepada kontraktor dan semua pihak terkait untuk segera merealisasikan pekerjaan tanpa penundaan, demi menjaga semangat awal yang telah dimulai secara sakral.
“Ritual adat ini tidak boleh berhenti di seremoni saja. Harus menjadi energi moral untuk bekerja serius dan tepat waktu. Kalau sudah ditepung tawar tapi tak dilanjutkan, itu bisa jadi isyarat yang tidak baik,” tegasnya. (Adv)
Penulis : Ady Wahyudi
Editor : Muhammad Rafi’i