MAKASSAR – Maraknya peredaran uang palsu di Sulawesi Selatan, khususnya Kota Makassar, menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat. Salah satu fenomena yang berkembang adalah tindakan warga yang membelah uang pecahan Rp100.000 karena percaya bahwa uang yang bisa terbelah merupakan uang palsu.
Mumtazah Bura Datu, akademisi dari Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Balikpapan sekaligus advokat, memberikan peringatan keras kepada masyarakat untuk tidak merusak uang sebagai cara memverifikasi keasliannya.
“Merusak uang rupiah, baik kertas maupun logam, merupakan pelanggaran hukum yang dapat dikenakan ancaman pidana. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Jadi, saya mengimbau masyarakat untuk berhenti melakukan tindakan tersebut,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa ada metode yang lebih aman dan legal untuk memeriksa keaslian uang. “Sebaiknya gunakan alat pendeteksi uang palsu atau kenali ciri-ciri keaslian uang rupiah dengan teknik yang benar. Bank Indonesia sudah menyediakan panduan resmi, yakni teknik 3D: Dilihat, Diraba, dan Diterawang. Ini adalah cara yang jauh lebih efektif dan aman,” jelas Mumtazah.
Mumtazah juga menyoroti pentingnya edukasi yang lebih masif kepada masyarakat. Menurutnya, pemerintah daerah, perbankan, dan lembaga terkait perlu meningkatkan sosialisasi terkait cara mengenali uang palsu. Dengan pemahaman yang baik, masyarakat dapat membantu mencegah peredaran uang palsu.
“Peredaran uang palsu tidak hanya merugikan individu, tetapi juga mengganggu stabilitas ekonomi lokal. Oleh karena itu, masyarakat perlu berhati-hati, terutama saat melakukan transaksi di tempat yang berisiko tinggi, seperti pasar tradisional atau transaksi tunai dalam jumlah besar,” tambahnya.
Mumtazah juga mengajak masyarakat untuk melaporkan dugaan peredaran uang palsu kepada pihak berwenang, seperti kepolisian atau Bank Indonesia. Langkah kolaboratif antara masyarakat dan aparat hukum diyakini dapat menekan penyebaran uang palsu di Sulawesi Selatan. (*)