SAMARINDA – Kehadiran Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur (Kaltim) menghadirkan berbagai peluang sekaligus tantangan, termasuk dalam upaya mencapai swasembada pangan. Dengan peningkatan jumlah penduduk akibat pertumbuhan IKN, kebutuhan pangan melonjak drastis.
Namun, ironisnya, Kaltim justru menghadapi penurunan produksi padi karena alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan perumahan dan pertambangan.
Ketergantungan pada Daerah Lain
Hingga saat ini, Kaltim masih bergantung pada pasokan pangan dari wilayah lain seperti Jawa dan Sulawesi.
Situasi ini menggambarkan kontradiksi besar: wilayah yang luas dengan potensi pertanian yang besar, tetapi belum mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri.
Ananda Emira Moeis, Wakil Ketua DPRD Kaltim, menyebut bahwa peran sektor pertambangan sebagai tulang punggung Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi salah satu faktor utama yang menghambat perkembangan sektor pertanian.
“Kita terlalu bergantung pada SDA, padahal kita punya peluang besar untuk swasembada pangan,” ungkapnya.
Menurut Ananda, langkah pertama yang harus diambil adalah menyusun database komprehensif mengenai potensi wilayah di Kaltim.
“Berapa luas lahan, kualitas tanah, dan jenis tanaman yang cocok? Kita belum punya data ini. Kalau database lengkap tersedia, kita bisa mulai merancang cetak biru ketahanan pangan yang solid,” tegasnya.
Database tersebut, lanjut Ananda, menjadi fondasi penting bagi upaya ketahanan pangan, terutama sebagai penyangga kebutuhan IKN.
Kutai Kartanegara (Kukar), Paser, dan Penajam Paser Utara (PPU) selama ini dikenal sebagai lumbung pangan Kaltim, namun ia percaya wilayah lain juga memiliki potensi serupa jika dikelola secara optimal.
Ananda juga menyoroti pengembangan food estate sebagai solusi strategis untuk memperkuat swasembada pangan.
Ia mendorong pemerintah pusat memberikan perhatian lebih pada inisiatif ini, sembari memastikan kebijakan tersebut tetap berpihak pada kesejahteraan petani lokal.
“Food estate bisa menjadi kunci. Tapi harus dilakukan dengan serius dan melibatkan semua pihak. Ini bukan hanya soal produksi pangan, tapi juga bagaimana meningkatkan kesejahteraan petani,” katanya.
Ketahanan pangan bukan sekadar tantangan, melainkan kebutuhan mendesak bagi Kaltim, terutama di era pembangunan IKN.
Dengan potensi besar yang dimiliki, langkah konkret seperti pemetaan wilayah, pengembangan food estate, dan dukungan kebijakan yang tepat diharapkan dapat menjadi pijakan menuju swasembada pangan yang berkelanjutan.
Namun, tanpa komitmen serius dari pemerintah daerah dan pusat, upaya ini hanya akan menjadi wacana.
“Kaltim harus segera bangkit dari ketergantungan pada pasokan pangan luar dan memaksimalkan potensi lokalnya untuk masa depan yang lebih mandiri,” tutupnya. (Adv)
Penulis: Hanafi