JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) sedang mendalami dugaan aliran dana kepada Tom Lembong selaku tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi kegiatan importasi gula di Kementerian Perdagangan.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Harli Siregar mengatakan bahwa dalam kasus tersebut, negara mengalami kerugian sejumlah kurang lebih Rp400 miliar.
“Terkait dengan kerugian keuangan negara yang sudah disampaikan bahwa ini akan terus dihitung untuk pastinya seperti apa. Mengenai aliran dana itu akan didalami juga,” kata Harli di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (30/10/2024).
Ia mengatakan, penyidik juga sedang mengumpulkan keterangan untuk mengusut dugaan aliran uang tersebut kepada pihak yang terlibat selain Tom Lembong, yakni tersangka berinisial CS selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) dan delapan perusahaan yang diduga terlibat dalam kongkalikong kasus tersebut.
“Misalnya dari delapan perusahaan itu. Kan dia mendapat keuntungan. Apakah misalnya ada aliran dana terhadap siapa saja? Itu nanti sangat bergantung dengan keterangan yang akan berkembang,” ucapnya.
Diketahui, Kejaksaan Agung menetapkan dua tersangka dalam kasus tersebut, yaitu Thomas Trikasih Lembong (TTL) atau Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan Periode 2015–2016 dan CS selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar pada Selasa (29/10) malam menjelaskan bahwa keterlibatan Tom Lembong dimulai ketika pada tanggal 12 Mei 2015, rapat koordinasi antarkementerian menyimpulkan bahwa Indonesia mengalami surplus gula sehingga tidak membutuhkan impor gula.
Akan tetapi, pada tahun yang sama, Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan pada saat itu memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton kepada PT AP untuk dijadikan gula kristal putih.
Persetujuan impor yang telah dikeluarkan Tom Lembong itu tidak melalui rapat koordinasi dengan instansi terkait serta tanpa adanya rekomendasi dari kementerian-kementerian guna mengetahui kebutuhan riil gula di dalam negeri.
Qohar mengatakan, sesuai aturan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 57 Tahun 2004, pihak yang diizinkan mengimpor gula kristal putih hanyalah perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Kemudian pada tanggal 28 Desember 2015 digelar rapat koordinasi di bidang perekonomian. Salah satu pembahasannya adalah Indonesia pada tahun 2016 diprediksi kekurangan gula kristal putih sebanyak 200.000 ton.
Dalam rangka stabilisasi harga gula dan pemenuhan stok gula nasional, pada November hingga Desember 2015, CS selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI memerintahkan bawahannya untuk melakukan pertemuan dengan delapan perusahaan swasta yang bergerak di bidang gula, salah satunya adalah PT AP.
Delapan perusahaan itu mengelola gula kristal mentah menjadi gula kristal putih, padahal perusahaan itu hanya memiliki izin pengelolaan gula rafinasi.
Setelah itu, PT PPI seolah-olah membeli gula tersebut, padahal gula itu dijual oleh delapan perusahaan tersebut kepada masyarakat melalui distributor yang terafiliasi dengan harga Rp16.000 per kilogram, yang lebih tinggi di atas harga eceran tertinggi (HET) saat itu, yaitu sebesar Rp13.000 per kilogram dan tidak dilakukan operasi pasar.
“Bahwa dari pengadaan dan penjualan gula kristal mentah yang telah menjadi gula kristal putih tersebut, PT PPI mendapatkan fee (upah) dari delapan perusahaan yang mengimpor dan mengelola gula tadi sebesar Rp105 per kilogram,” kata Qohar.
Atas perbuatan keduanya, negara dirugikan sekitar Rp400 miliar. (ANT/KN)