Oleh : Dr. I Ketut Suar Adnyana, M.Hum.
Dosen Universitas Dwijendra
Suhu kontestasi politik saat ini membuat gerah masyarakat. Saban hari dimedia sosial terunggah adu argumentasi antara pendukung calon presiden. Di televisi saban hari pula ditayangkan debat antar pendukung masing-masing calon presiden. Bukan adu argumentasi yang mereka tampilkan tetapi diskusi yang mengarah ke debat kusir. Hasil dari talkshow itu apa manfaatnya bagi masyarakat.
Tidak ada yang bermanfaat dari debat tersebut bagi masyarakat. Debat semacam itu hanya menambah kegaduhan dalam masyarakat. Isu politik digoreng-goreng sepertinya negara ini tidak ada suasana damainya.
Pernyataan tokoh masyarakat dan elit politik sering blunder dan menyesatkan masyarakat. Mengapa kontestasi politik selalu menyisakan perpecahan dalam masyarakat. Pernahkan tokoh masyarakat dan elit politik memikirkan apa dampak kontestasi yang politik yang cenderung menjemukan masyarakat. Isu-isu lama digoreng lagi.
Politik identitas mulai mencuat lagi. Black campaign muncul lagi. Para buzzer saling serang. Masyarakat golongan bawah tidak mengerti tentang itu. Cari uang untuk makan saja mereka mengalami kesulitan.
Pemilu yang akan dilaksanakan tahun 2024 merupakan pesta demokrasi katanya bagi seluruh masyarakat Indonesia. Masyarakat bawah tidak merasakan kemeriahan pestanya. Apabila salah satu calon presiden menang, mereka akan tetap bergelut dengan kemiskinan. Pesta hanya dirasakan oleh mereka yang bisa meraih kemenangan.
Mereka berkontestasi terkadang nyerempet SARA. Hal ini tentu sangat membahayakan bagi persatuan. Yang menjadi korban adalah masyarakat. Elit politik, tokoh masyarakat, dan tokoh agama seharusnya memberikan contoh bagaimana hidup bertoleransi antar sesama. Bukan melakukan agitasi yang menyebabkan perpecahan.
Mereka hendaknya berpolitik secara elegan. Tokoh-tokoh semacam ini perlu diberikan atau mereka dijadikan sasaran program P5 (Proyek Penguatan Profil Pejabat Pancasila). Jangan hanya siswa dijadikan sasaran P5 (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila). P5 bisa berhasil jika tokoh masyarakat dan elit partai mempunyai sikap toleran. Janganlah mengatakan generasi muda telah mengalami degradasi moral. Tokoh masyarakat,elit politik dan pejabat banyak yang melakukan korupsi. Mereka inilah yang mengalami degradasi moral. Percuma memberikan pendidikan antikorupsi kepada mahasiswa. Jika para seniornya melakukan tindak pidana korupsi.
Bahkan pernyataan mantan pejabat dinilai rasis. Logika berpikir tokoh seperti ini sangat membahayakan. Mengapa hal seperti ini muncul berulang ketika jelang kontestasi politik. Isu lama lagi disuguhkan. Apakah cara ini cukup efektif untuk mendulang suara? Jawaban dari pertanyaan itu adalah cukup efektif. Kentalnya aroma politik identitas pada saat pilkada di DKI tercium sangat kuat.
Kita berharap situasi politik seperti ini tidak lagi diterapkan dalam kontestasi politik tahun 2024. Masyarakat merasa jenuh dengan suguhan politik seperti itu. Harapan masyarakat sangat sederhana, kontestasi politik tahun 2024 diharapkan memilih pemimpin yang berpihak pada masyarakat yang terbawah. Mereka berharap alur kehidupan mereka ada perubahan. Harapan mereka hanya bisa mencari uang dengan mudah walau hanya untuk sesuap nasi. Itulah ukuran kebahagiaan yang mereka inginkan. (**)